ini ketiga puluh lima

26.1K 2.9K 101
                                    

coba absen siapa yg nunggu update cerita ini cung☝️☝️
seperti biasa, klo ada typos dikomen aja ya bebs

"Gue lupa engga bawa al-quran lagi."

"Pakai HP aja," sahutku sembari mengambil mukena dan kitab suciku.

"Mata gue makin minus kalo baca di HP," sahut Joan yang sudah mengenakan mukenanya itu. Aku memutar bola mataku malas.

"Kata orang yang tiap malem baca Wattpad gelap-gelapan."

Joan terkikik. Huh. Untung sahabatku dia doang.

Kami berlalu menuju lapangan indoor Tribuwana yang sekarang sudah padat. Pada lantainya, sudah tergelar karpet-karpet sebagai alas untuk kami melaksanakan salah Dhuha. Di depan sana, ada semacam panggung mini yang akan dijadikan tempat Ustad memulai dakwahnya, atau anak-anak Rohis dengan marawisnya. Para guru juga sudah berjejer duduk di depan sana.

Aku dan Joan segera melepaskan sepatu kami, masuk ke barisan kelas. Menggelar sajadah, dan duduk ikut bersalawat.

Kalau kamu penasaran, Jumat ini, bagian SMA Tribuwana untuk melaksanakan kegiatan keagamaan. Biasanya diisi kegiatan salat berjamaah, lalu mengaji, dilanjutkan ceramah, hiburan (biasanya sih marawis), ditutup oleh pembacaan infaq yang telah dikumpulkan perkelas. Untuk anak laki-laki dan perempuan dipisahkan. Jadi sebelah kiri anak perempuan, kanannya untuk laki-laki. Dipisahkan oleh pot-pot bunga.

Lalu, untuk anak yang berhalangan seperti haid, bisa duduk-duduk di pinggiran lapangan, menyaksikan. Dan untuk anak yang non muslim, juga diberi kegiatan keagamaan sendiri di salah satu ruang rapat di sekolah ini. Tentunya didampingi guru keagamaan mereka.

"Ayo rapatkan safnya," kata Bu Siti (guru keagamaanku) menggunakan mikrofon. Aku lalu merapatkan barisanku. Setelahnya, imam mulai memimpin salat. Aku membaca niatnya, sebelum mengikuti imam tersebut. Melaksanakan dua rakaat salat Dhuha.

Setelah membaca salam, aku mulai berdoa. Mengaminkan setiap tuturan yang dikeluarkan Ustad di depan sana. Meskipun engga tahu artinya sama sekali. Setiap doa pastilah berisi kebaikan bukan? Engga mungkinlah Ustad itu justru mendoakan keburukan.

"Dibuka Surah Al-Waqiahnya ya."

Bersamaan ucapan Bu Siti itu, kurasakan kantung kemihku mendesak untuk segera dikeluarkan isi di dalamnya. Aku mengerutkan dahi. Memegang perutku, seolah hal itu dapat menahan lebih lama. Aku menoleh pada Joan, "Gue ke kamar mandi dulu. Aduh. Udah engga tahan."

Setelahnya aku mengangsurkan kitab suciku, dan melepaskan mukena. Aku lalu berdiri (mengabaikan kalau aku sontak menjadi perhatian), bergerak cepat ke belakang, dan mencari-cari sepatuku di antara banyaknya sepatu. Segera setelah kudapati sepatuku itu, dan memakainya, aku bergerak ke kamar mandi. Yang sayangnya ... kamar mandi terdekat adalah kamar mandi angker itu. Tapi ya, karena kebutuhanku sangat mendesak, aku terpaksa menggunakannya. Dibanding saat di tengah jalan, aku engga tahan?

Aku mendobrak salah satu pintu biliknya, membuat suara kencang terdengar. Aku meringis engga sengaja. Ya mau gimana lagi, aku betul-betul udah kebelet! Aduh.

Aku masuk ke dalam bilik, mengancingnya, dan menyalakan keran. Segera saja aku berjongkok dan menuntaskan kebutuhanku itu. Keran air masih menyala, meminimalisasi bunyi dari ya you knowlah, tapi aku dapat mendengar suara gebrakan di luar sana. Apa itu? Aku mengecilkan keran, dan kudengar bunyi berdebug berkali-kali. Kurasakan getaran di ponsel yang ada di gengamanku. Aku melihatnya. Joan. Kenapa nih anak?

Aku mematikannya. Paling engga penting. Aku kembali fokus melanjutkan kebutuhanku. Begitu merasakan sudah lega, tidak bersisa, aku mengambil gayung. Tapi lagi-lagi, getaran kembali kurasakan. Sambil bersungut-sungut menyumpahi Joan, aku memgangkatnya berniat memberikan dampratan. "Bang ..."

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang