Sejak kuceritakan semua tentang Para tadi pagi, Joan engga henti-hentinya memandangku sambil memasang cengiran lebar. Aku takut mulutnya akan robek karena cengiran lebar itu. Kenapa dia sebegitu girangnya?
"Sumpah sih, mimpi apa lu kok bisa begini?"
Aku hanya memutar bola mata malas mendengarnya kembali menanyakan kepastian ceritaku. Seolah-olah aku memiliki bakat mengibuli orang. Apakah memang di wajahku tertulis: Jangan percayai omongan dia. Dia tukang bohong! Dua orang loh.
"Doi udah nembak lu?"
Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. "Ngapain nembak. Iseng doang paling."
Aku sih sejujurnya masih bingung. Banget malahan. Pertama, dia kenal aku aja sudah bikin sel-sel otakku bertarung. Kenapa? Kenapa? Kok bisa? Kedua, kenapa dia sampai berbuat seperti dikoperasi—di kantin—di toilet. Lagi-lagi, kenapa? Kok bisa? Kok aku?
Lalu, tiba-tiba ... boom dia muncul. Entah darimana. Di setiap saat. Di sekitarku. Mengharuskan untuk selalu berhubungan dengan dirinya. Seperti kemarin. Aku seharusnya masih merasa takut jika berhubungan dengannya, dekat dengannya. Karena dia orang cabul. Iya 'kan?
Tapi, entah kenapa, sejak kemarin, aku merasa kalau asumsiku itu sangat keliru. Karena kenapa dia engga memanfaatkan keadaan itu untuk melaksanakan kemesumannya itu? Iya kan? Berbuat lebih dengan memaksaku mungkin?
Lalu, bagaimana? Kalau bukan karena dia orang seperti itu, lantas apa yang mendasari perbuatannya? Entahlah. Penasaran? Iseng? Bukankah itu yang biasa dilakukan cowok tampan, populer. Playboy. Yah, semacam itulah, karena engga mungkin juga dia punya motif lain kan—punya perasaan padaku misalnya . Kayak impossible banget. Iya engga sih?
Orang kan biasanya jatuh cinta ya karena pernah dekat atau seenggaknya kenal deh. Nah kami berdua? Aku sih hanya kenal nama doang, beda dengan Para yang kupastikan bahkan engga mengetahui aku sama sekali—tadinya.
Yah, hipotesisku sementara adalah kalau dia mulai mendekatiku sejak—peristiwa di koperasi—aku menganggapnya keisengan belaka. Engga tahu karena sebab apa—mungkin taruhan dengan temannya (maaf, otakku memang terlalu drama). Selepas pulang kemarin, Para beberapa kali mengirimu pesan, tetapi hingga kini masih kudiami karena entahlah ... aku engga tahu harus bilang apa.
"Lo ketemu keluarganya dong?"
Aku mengangkat bahu acuh. "Engga. Ketemu ARTnya doang."
"Adeknya?"
"Engga liat juga tuh."
"Sayang banget. Padahal adeknya juga cakep. Walaupun masih SMP sih."
"Hm."
"Hi, boleh gabung ya? Meja lain udah penuh nih."
Aku mengangkat kepalaku, dan melihat Cika, Dinda, serta Sintia berdiri di sebelah meja kami. Aku lalu menggeser dudukku.
"Thanks."
Aku dan Joan saling bertatapan—mengkode satu sama lain untuk engga membahas apapun mengenai Para.
"Oi, Bhadra."
Serentak kami—aku, Joan, Cika dan dayang-dayangnya—menoleh meskipun bukan nama kami yang dipanggil. Di pintu kantin, Kak Wildan berseru dan berlari menghampiri Para yang sedang duduk di meja biasanya.
"Lah, sejak kapan, Kak Para di situ?" Gumam Cika di sampingku.
Iya. Sejak kapan dia di sana? Perasaan tadi engga ada dia. Aku mengalihkan perhatian pada makananku lagi. Engga ingin tertangkap oleh pandangannya kalau aku mengamatinya. Atau ... pura-pura engga tahu kalau dia di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...