ini kedua puluh sembilan

26.9K 3.1K 186
                                    

Kencan kami Sabtu lalu ya ... engga terjadi apa-apa. Begitu Para berkata seperti itu, alarm tanda bahayaku berbunyi nyaring (menandakan aku harus melarikan diri), dan ya ... aku melarikan diri (dalam artian secara harfiah). Aku melarikan diri darinya menuju lantai bawah. Hei! Aku engga mau dooong ambil risiko dicium atau disenonohin sama makhluk mesum itu?

Aku memilih duduk di ruang tamu, dan ya Para akhirnya menyusulku turun. Saat itu, aku memaksa ingin diantar pulang, tapi lagi-lagi, Para si tukang paksa itu menahanku di rumahnya. Alhasil ya ... aku berada di sana hingga sore. Kami menghabiskan waktu dengan menonton Emily in Paris. Dan kamu tahu? Para ngomong ngelantur engga jelas, saat aku berkata pada DIRIKU SENDIRI bahwa, "Astaga. Akhirnyaa. Gabriel ganteng banget. Mantap si Emily sih."

"Cih."

Aku meliriknya dari sudut mata. Para masih memandang layar televisi yang ada di ruang tamunya. Kenapa lagi deh ini orang?

"Ganteng apanya."

Aku menatap layar televisi yang menampilkan si chef seksi itu. "Ya jelas ganteng. Badan keren. Muka tegas, dewasa. Brewokan seksi. Rahangnya oke. Jago masak."

"Gitu?"

"Udah mana waktu pakai apron seksi banget," kataku menelan liur yang akan menetes karena menatap keseksian si monsiur Gabriel. Ugh. Bisakan jodohku nanti modelannya begitu?

"Oke."

Aku menoleh pada makhluk di sampingku. "Oke apanya?"

"Rahang oke. Brewokan. Muka tegas. Dewasa. Badan keren. Apalagi?"

"Engga mesum."

"Engga pemaksa."

"Engga kurang ajar."

Para mengangguk-angguk seolah menyetujui. "Banyak juga ya kriteria kamu. Pantes engga ada yang mau. Untung aku mau."

"APA?"

Ya ... setelah itu, engga ada yang terjadi sih. Cuma di saat aku dan Para masih berdebat, tiba-tiba disela Buwan yang baru pulang dari rumah sakit. Saat itu aku sadar bahwa waktu hampir mendekati maghrib, dan aku meminta Para untuk mengantarku pulang. Untungnya dia menuruti. Jadi, kencan kami Sabtu lalu berakhir begitu. Aku diantar pulang dengan selamat. Para kembali pergi setelah menekankan janji kami untuk pergi ke toko bukunya.

Dan kalau kamu mau tahu, kencan kedua kami hari Minggu di toko bukunya ya ... biasa-biasa aja. Paginya aku bersiap, memakai dress (aku mempersiapkan diri kalau Para tiba-tiba mengajakku menjenguk Mamanya lagi). Para menjemputku tepat pukul sembilan. Tapi begitu mendapatiku memakai dress (yang padahal aku engga tahu letak salahnya di mana, Para marah-marah).

"Kamu itu bodoh atau gimana sih?"

Aku mendesis. "Masalahnya sama kamu?"

"Kamu tahu aku naik motor."

"Siapa juga yang ngomong kamu naik keranda?" Jawabku sadis. Para melotot.

Dia menghembuskan napas. "Terus kenapa pakai rok?"

Aku menatap dressku, dan engga ada yang salah. Panjangnya masih wajar, selutut.

"Kamu mau umbar paha kamu kemana-kemana?" Dia mendesis padaku. "Memangnya kamu pikir, kamu sedang ada di rumah?"

Aku mendelik. "Ya kan aku persiapan aja. Siapa tahu diajak ketemu Mama kamu lagi."

"Ganti."

"Yauda sih. Engga usah marah-marah."

Aku akhirnya berganti baju. Memakai jins dan baju. Setelah memastikanku berpakaian dengan benar, kami berkendara ke Plaza M, dan pergi ke toko bukunya. Si adik kasir di sana. Duduk dan menunggui meja kasir. Aku ditarik Para memasuki pintu lain di toko itu. Pintu yang menghubungkan pantri, toilet, dan ruang lainnya. Kami masuk lagi ke ruang itu ... yang ternyata adalah ruang kantor.

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang