"Lo liat tadi Para berangkat sama cewek?"
"Denger doang sih. Engga tahu bener atau boongan."
"Beneran! Anak-anak pada liat waktu di parkiran."
"Siapa emang? Palingan juga Nirisha."
"Bukan."
"Seriusan? Terus siapa?"
"Engga tahu. Mukanya ditutupin jaket."
"Terus dia masuk kelas apa?"
"Engga tau juga."
"Diikutin dong harusnya biar tau."
"Emang lo berani tuh ngikutin ceweknya sementara Para melototin lo?"
Aku menghembuskan napas lega ketika orang-orang membicarakan 'cewek yang bersama Para tadi pagi' dan engga tahu siapa si cewek itu. Clueless abis. Beruntung banget aku emang. Terima kasih buat jaket cokelat milik Para yang terpaksa kukenakan agar orang-orang engga tahu (begitu sampai di kelas, aku langsung menyembunyikan jaket itu di kolong meja! Biar engga ketahuan—temen sekelas. Untungnya lagi, aku yang pertama datang di kelas—hasil memaksa Para agar dia engga lama-lama dengan Bu Dewinta tadi di rumah sih). Huh. Lagipula kalau ketahuan 'kan males juga jadi bahan omongan begini, apalagi kalau sampe ada bullying verbal. Aku melirik dua senior di belakangku yang tadi berbincang. Mendengus, menertawakan mereka.
"Kenapa lu?"
"Hm?" Aku menoleh pada Joan yang sedang memandangku aneh.
Sambil menggerakkan tangan—Jumat ini jadwal SMA Tribuwana senam bersama di lapangan utama by the way. Dan ya aku sedang senam.
"Engga apa."
Dia mencebik. "Lu belom jawab pertanyaan gue kemarin."
"Tanya apaan?" Aku melangkah tiga kali ke kanan, tiga kali ke kiri mengikuti instruktur senam di depan.
"Kemaren kenapa Kak Para nanyain alamat rumah lu ke gue?"
"Shhhh," kataku mendesis agar Joan engga bicara keras-keras. Bisa gawat kalau senior-senior di belakang mendengar. Bisa saja mereka fanspra kan? Geli banget namanya. Siapa sih yang mengusulkan nama itu? Sumpah deh. Norak abis.
Kalau kamu tahu aja sih. Jadi barisnya tuh, paling depan instruktur senam (naik ke atas meja gitu biar kelihatan), di belakangnya para guru dan staff-staffnya, belakangnya lagi anak kelas 10 berderet sejajar, mengikutinya di belakang mereka ada anak kelas 11, dan paling akhir tentu anak kelas 12.
"Kan. Kan. Ngaku."
"Ngaku apaan. Orang gue aja engga tahu! Kenal juga engga sama dia."
"Ya terus ngapain dia minta alamat rumah lu?"
"Engga tahulah. Tanya sama orangnya!" Bohongku.
"Boong! Lu pasti MT sih sama gue!"
"Dih. Engga percaya ya udah."
"Lu kemaren engga ketemu doi berarti?"
"Enggaaa Jooooo."
"Kata lu, motor lu mogok. Terus pulang sama siapa? Gue kan engga jemput lu tuh. Para ya?"
Astaga ini orang, curigaannya besar banget. Bakat analisisnya harus kuwaspadai.
"Ngacoo. Orang gue naik angkot."
"Terus motor lu?"
"Dijemput bengkel langganannya Mas Danu."
Aku lalu mengikuti tari poco-poco. Aku melirik ke samping, Joan manggut-manggut.
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Fiksi RemajaCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...