ini keempat

42K 4.5K 212
                                    

Tubuhku seketika menegang merasakan tarikan napas dalam di tengkukku, belum dengan tangan yang masih bertengger di pinggangku. Tepat menempel di tubuhku jika engga ada penghalang berupa seragam sekolahku. Aku engga berani menoleh sehingga tanpa babibu aku berlari secepat kilat, melupakan nasi uduk, sosis, dan perutku yang akan keroncongan sepanjang pelajaran nanti. Aku engga peduli pada penjaga kantin yang pandangannya menelisik, ketika aku keluar terburu-buru tadi, seolah aku mencuri sesuatu.

Jantungku sudah berdebar sangat kencang, apalagi ketika kembali mengingat tangan besar itu menempel dan meremas pinggangku. Belum suara bisikan, yang diakhiri endusan dalam di leherku. Aku bergidik, menghilangkan rasa ngeri yang menjalar hingga bulu kudukku berdiri. Menoleh ke belakang, meskipun engga mendapati apapun, aku merasa bahwa langkah kakiku diawasi seseorang.

The hell? Apa yang barusan terjadi? Aku kembali bergidik ketika sampai di kelas dan mendapati teman-teman sekelasku sudah mulai berdatangan. Paling engga, aku sudah aman. Aku lalu melangkah ke kursiku, duduk, dan menelungkupkan wajahku di meja kembali merenung kejadian yang kualami barusan.

"Woi monyet, gue panggilin, congek bener," teriak seseorang dengan lantang. Itu Joan, tanpa melihat pun, aku sudah tahu. Pagi-pagi sudah berisik benar. Masuk ruangan, bukannya ucap salam, malah mupuk dosa.

"Heh," tegurnya ketika sudah di sampingku, menyentak bahuku agar melihatnya.

"Nape lu? Puyeng ya tugas Kimia 100 soal? Sok lu, ngerjain juga kaga," selorohnya mendapati raut mukaku yang kayanya kalau dilihat pasti engga enak banget. Berbeda ketika aku masuk sekolah tadi pagi yang berbungah-bungah.

"Gue mau cerita," kataku.

"Apaan?" Kata Joan sambil memincingkan matanya padaku. "Lu nangis ngerjain Kimianya? Lebai lu. Gue nih pernah sampe muntah-muntah."

Engga peduli, Jo. Kimia rasa-rasanya terdengar engga mengerikan dibanding kejadian yang menimpaku.

"By the way, lu make minyak wangi sama lotion baru ye? Yang kemaren gue kasih tau kan? Baunya enak ye."

Aku memutar bola mataku. "Dengerin Joooo."

"Iye iye. Apaan? Buruan, nanti Bu Sari keburu masuk."

Belum cerita, sudah diburu-buru aja. Brengsek emang Joan.

Aku menarik napas, sebelum mulai berbicara, "Gue kan belum sarapan nih ceritanya. Nah, terus ke koperasi tuh, mau beli sarapan kaya biasa. Pas gue masuk, sepi gitu. Emang bener-bener, cuma gue doang, sama penjaga koperasi di luar. Nah pas gue lagi mau ambil makanan, tiba-tiba ada tangan orang yang nempel-nempel di pinggang gue, belum lagi pas dia endus-endus gue."

Joan menatapku lurus. Aku juga balik menatapnya, menunggu komentar yang akan diberikannya.

"Halu kali lu, laper jadi bikin halusinasi," tuding Jo, meragukan keasilan ceritaku.

"Engga, Jo. Beneran deh. Orang dia aja sempet ngomong, 'Sebelah kiri' gituuu kok," belaku.

"Lu liat orangnya dong?"

Aku menggeleng. Jangankan untuk melihat orang yang berbuat seperti itu padaku, jantungku aja sudah kelonjotan, dan ingin cepat-cepat kabur karena takut.

"Takut gue. Langsung cabut."

"Bege. Gampar harusnya lu!"

Aku mengendikkan bahu.

"Terus lu engga jadi sarapan berarti?"

Aku kembali menggeleng.

"Emang lu bego kuadrat valid no debat."

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang