ini kedua puluh delapan

25.8K 3.2K 126
                                    

"Siapa Karmila?" Tanyaku begitu kedua kakiku menginjak tanah. Aku menghadapnya sambil memeluk tasku. Para melepas helmnya, menyugar rambutnya hingga menjadi engga beraturan. "Bukan siapa-siapa."

Aku mengernyit. "Tapi tadi ...," baru aku ingin berkata, mengulangi ucapan Nirisha tadi, Para memotong cepat. "Engga penting. Ayo masuk."

Para melangkah memasuki rumahnya. Aku lalu buru-buru menyusulnya. "Kok ke sini sih?"

Sambil berjalan menuju kamarnya, Para menolehkan sedikit kepalanya padaku yang mengikutinya. "Harusnya kemana?"

"Ke rumahku?" Kataku engga yakin.

"Kamu engga berpikir, jalan kita hari ini hanya sebatas menjunguk Mama kan?"

Aku mengendikkan bahuku (meski Para engga melihatnya sekalipun). Aku lalu memasuki kamarnya yang masih sama seperti terakhir kali, dan menuju ruang rahasianya ... ya ... aku memutuskan memanggilnya begitu.

"Minum?"

Aku menoleh. "Air putih dingin. Thanks."

Para menghampiri kulkas mini yang ada di ruang itu. Aku mengintip sedikit, dan mendapati banyak minuman kaleng engga sehat di sana. Ya ... air putih botol juga. Aku segera menegakkan badan, duduk dengan benar, ketika Para membalikkan badannya dan menghampiriku. Duduk di sampingku.

"Ekhm," aku berdehem melegakan tenggorokan. Aku lalu menyambar air dingin itu, dan menenggakkan hingga tersisa setengah.

"Panas bang ... et," kataku sambil meringis garing begitu aku menyadari Para mengamatiku minum dengan tidak elit. Shit. Ini mau diem-dieman aja kaya gini sampe kapaan??? Aku berdecak dalam hati.

"Ekhm," aku berdehem sekali lagi, membuka obrolan. "Tiba-tiba aku kepikiran sesuatu."

Para yang sedang menyulut rokoknya mendongak. Api di pematik masih menyala, rokoknya juga sudah terselip di kedua bibirnya. Aku meringis. "Lanjutin aja dulu."

Dia lalu menyalakan rokoknya, setelah beberapa saat, dan rokoknya sudah mengepulkan asap, dia mendongak. Kakinya menyampir di kakinya yang lain. Badannya menyender di sofa. Dan aku merasa terintimidasi saat ini.

"Kepikiran apa?" Tanyanya sambil merokok.

Aku memutar badanku hingga kini menghadap tubuhnya.

"Kan ya ... ini udah tiga hari."

"Tiga hari apa?" Katanya engga mengerti. Alisnya berkerut menatapku.

"Gini loooh. Aku kepikiran gimana kalau kita ... ehm ... udahin ... pura-puranya?" Kataku berhati-hati sambil menatapnya. Para melepaskan rokoknya, dan meniupkan asapnya ke mukaku. Sialan. Aku terbatuk-batuk.

"Maksudku ...," kataku sambil mengipas asap agar hilang.

"Besok mau ke toko buku lagi?"

Aku mengerjap. "Mauu! Jam berapaaa??"

Para menyeringai, dia lalu menghembuskan rokoknya berkali-kali. "Jam sembilan."

Ada apa dengan jam sembilan dan seorang Bhadra Parasara? Tapi akhirnya aku hanya berkata, "Oke."

Aku lalu mengerut. "Tadi aku mau ngomong apa?"

Sialan emang. Begini kalau punya otak engga ada gunanya, buat mengingat pelajaran aja susahnya minta ampun, apalagi mengingat apa yang tadi ingin kuucapkan. Aku menatap sambil berkerut pada Para. Dia juga menatapku. Setelah beberapa saat hanya bertatapan, dia berkata, "Entah. Kamu yang mau ngomong, kenapa mesti aku yang harus ingat?"

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang