mungkin bisa baca chapter sebelumnya biar feelnya nampol~~~
jangan lupa vote dan komen. happy reading!
"Mau kemana?" tanya Mbak Ria begitu aku melewatinya yang sedang duduk di ruang tamu bersama Bimbo.
"Mau ke rumah Joan," bohongku. Bimbo yang sedang menabrak-nabrakan robot-robotan hasil beli ke mall waktu itu, mendongak. "Bimbo ikut dooooong."
Mbak Ria mengangguk seolah tahu siapa itu Joan. Dia lalu mengiming-imingi Bimbo jajanan, agar anak gembul itu teralihkan. Aku bergegas pergi saat Bimbo memang benar-benar mengabaikanku. Aku berdiri tidak sabar, menunggu driverku tiba. Menengok ke kanan kiri. Sesekali melihat jam tanganku yang sudah menunjuk angka lima sore, serta ruang chat dengan Para.
"Atas nama Mbak Rumi?"
Aku mendongak dan mendapati driverku. Segera saja aku mengangguk, dan mengambil helm yang disodorkannya. Setelahnya aku naik, dan meninggalkan rumah. Aku sebetulnya engga tahu pasti alamat rumah Para, namun aku tahu nama kompleks perumahannya. Aku juga ingat lokasi pasnya. Jadi, ketika kami tiba di depan kompleks, aku meminta driverku untuk masuk sedikit. Mengarahkannya untuk belok kanan, lurus, belok kiri, dan sampai. Setelah memastikan pembayarannya, bergegas aku menghampiri rumah Para.
Sepi. Saat aku melihat ke garasi, engga ada motornya. Tidak di rumahkah? Sia-sia dong aku ke sini? Sudah mau maghrib lagi.
Aku menggeleng. Melangkah mendekati pintu dan mengetuknya. Selama beberapa saat aku menunggu dalam diam, hingga akhirnya pintu itu terbuka dan aku mendapati Ibu Para di sana. Aku tersenyum canggung.
"Loh? Kamu itu pacarnya Mas kan?" tanya beliau. Aku meringis.
"Masuk. Masuk," katanya sambil mempersilahkan aku masuk. Aku yang memang sudah kedinginan di luar, engga ragu-ragu untuk masuk. Beliau mempersilahkan aku duduk.
"Rumi ya?"
Aku mengangguk. "Masnya ada?"
Ibu Para menggeleng, "Engga ada."
Meskipun sudah mengira kalau Para memang engga ada karena kenihilan motornya, aku tetap merasakan kecewa ketika mendengar Ibu Para berkata demikian. Aku lalu berkata, "Terus kemana, Tante?"
Ibu Para mendengus, "Anak itu Tante suruh periksa ke rumah sakit. Kemarin pulang-pulang mukanya babak belur. Itu anak engga biasa berantem, tumbenan banget."
Aku mengerjap. Apakah parah? Sampai harus ke rumah sakit seperti Reihan?
"Dirawat?" tanyaku dengan hati mencelos. Ya bagaimana tidak? Semua itu karenaku.
Ibu Para tersenyum menenangkan, "Engga. Cuma periksa aja. Dari kemarin Tante suruh periksa, engga nurut. Padahal dia ngeluh pusing terus. Eh ... saya ancem, pergi deh itu anak tadi."
Berarti itu artinya keadaannya dia engga begitu parah? Aku menggigit bibirku, sebelum kembali bertanya, "Sudah lama ya Tan?"
Ibu Para menoleh ke jam dinding, "Loh? Jam enam kurang? Udah hampir sejam berarti."
Beliau kembali menatapku, "Engga usah cemas. Dia baik-baik aja pasti. Masa anak taekwondo sekalinya berantem langsung tepar."
Aku hanya tersenyum kering. Rasa-rasanya selera humorku ini engga tersisa begitu tahu kalau Para mungkin aja juga dalam keadaan parah. Ibu Para menanyaiku berbagai hal, tentu saja aku menjawabnya, walaupun dalam keadaan hati yang engga tenang.
Di setiap ada kesempatan, aku selalu melirik jam dinding. Memperhatikan bujurnya yang bergerak perlahan, seolah ingin membunuhku lebih lama karena kekhawatiranku yang belum hilang apabila engga melihatnya secara langsung. Sesekali juga, aku menengok kolom chatingan kami. Namun, pesanku yang terakhir itu bahkan belum terbaca. Padahal sudah hampir tujuh jam.
![](https://img.wattpad.com/cover/242793465-288-k471245.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...