ini ketiga puluh tujuh

22.3K 2.7K 153
                                    

update cepet. yes.
kuy pencet vote dan ramaikan biar next cepet juga.

chapter ini panjang lumayan.
p.s kalau nemu typos komen aja ya.

Aku menggigit kukuku gemas sembari memandangi tiga pesan yang terhapus itu. Rasa penasaran benar-benar menggerogotiku. Apa yang dikirimkannya? Apa yang ingin Para sampaikan padaku? Sangkin penasarannya, aku bahkan engga perduli pada kontak nama Para yang entah diubah oleh siapa itu.

Aku mencari di mesin pencari, bermaksud ingin memgembalikan pesan terhapus itu, tetapi melihat keribetannya, aku mengurungkan diri.

"Chat balik? Tanya isinya?" Tanyaku pada diri sendiri. Aku sontak menggeleng ketika membayangkannya, "Ah enggak! Enggak! Entar kalau diread doang kan berabe. Kayak kepo banget. Tapi gimana ya, emang penasaran banget ih."

Selama bermenit-menit, aku masih berbaring sambil memandang pesan itu. Memikirkan segala kemungkinan darinya. Kalau awalannya begitu, kemungkinan terbesar dia sedang mengungkapkan kekecewaannya padaku kan? Tapi ... kenapa dihapus gitu? Karena ya ... semisal dia memang begitu, ya aku bakal biasa aja gitu, mungkin juga bakal intropeksi diri. Iya kan?

Lagi pula, kenapa pula dia sampai kecewa? Aku aja engga jadi bertemu Reihan kemarin (mengambil asumsi Joan kalau Para akan marah jika aku berhubungan dengan Reihan).

Mungkin dia tahu rencana lo nanti? Setan di kuping kiriku berbisik.

"Ah masa sih? Lagian dia tahu dari mana? Gue engga bilang kok. Joan? Engga mungkin juga."

Panggilan masuk membuyarkan lamunanku. Saat kulihat, itu Joan. Oh! Aku sampai lupa kalau hampir jam sepuluh. Segera aku angkat, "Jemput Jo?"

"Ho? Iya gue on the way rumah lu ya," katanya di seberang sana. Aku menatap jam dindingku, sepuluh kurang lima belas menit. Jarak rumah Joan ke sini sekitar sepuluh menit. Bisalah.

"Oke," kataku langsung menutup panggilan itu dan berlari ke kamar mandi. Siap-siap.

***

"Hi Fit," kataku menyapa Fitri, salah satu anggota Jurnalistik. Dia tersenyum.

"Ini kita ke mana?" Tanya salah satu anggota Jurnalistik. Aku lupa namanya. By the way, ada empat orang yang menjenguk.

"Ponselnya Reihan engga bisa dihubungi nih. Sibuk terus," kata Fitri yang berkali-kali mengontak Reihan namun engga dijawab sekalipun.

"Tanya aja deh, yuk," kata Joan. Dia lalu mengepalai kami memasuki rumah sakit Fatmawati. Joan bertanya pada salah satu petugas medis di sana, sebelum akhirnya kami mendapati ruang inap Reihan. Melati nomor 234.

Saat kami berjalan menuju ruang inap Reihan, aku berjalan memepet Jo, berniat untuk bertanya. Aku berbisik pelan, "Hapenya Reihan engga bisa dihubungi dari kapan?"

Joan melirikku, dia memandangku aneh, "Kemarin sore."

Aku mengerjapkan mata. Bingung. Kemarin Reihan masih bisa menghubungiku kok. Iya kan? Kalian saksinya. Aku ingin mengatakannya, tetapi urung ketika kami akhirnya sampai di depan ruang inap Reihan.

Fitri mengetuk pintunya. Sedetik setelahnya pintu itu dibuka oleh Ibu paruh baya yang kulihat kemarin, Ibu Reihan. Dari dekat, aku bisa melihat bulu mata menggelegarnya, dengan pulasan eyeshadow yang terang banget. Belum sanggulnya yang menjulang.

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang