happy reading sayangku😘
Kalau kamu mau tahu, bagaimana reaksiku selanjutnya mendengar ucapannya yang mendadak itu. Maka jawabannya adalah shock. Jelas dong. Aku disukai oleh Para? Aku??? AKU?! Astaga. Dari sisi mananya gitu yang membuat Para menyukaiku? Dan bagaimana bisa? Sejak kapan? Berbagai pertanyaan seketika menyelusup satu demi satu ke otakku yang sempit ini.
Tampangku pasti sangat konyol sepanjang hari. Melongo macam orang bodoh. Dan kalau kamu penasaran, saat Para berkata seperti itu, yang aku lakukan adalah kabur. Betul kabur. Berlari ke dalam rumah. Entahlah. Ini kali pertamanya seorang cowok berkata seperti itu padaku. Unbelieveable aja rasanya. Subjeknya seorang Bhadra Parasara lagi.
Lagipula, memangnya apa yang ingin kalian harapkan dariku? Aku langsung membalasnya? Hei. Aku saja saat itu bingung, dan terkejut setengah mati. Kakiku bahkan bergerak sendiri meninggalkan Para. Aku pun bahkan mengacuhkan Mas Danu yang kelihatan ingin bertanya padaku. Di dalam kamar, menghabiskan hari Minggu, aku bermonolog berkali-kali sembari memandang cermin di kamar.
"Dia beneran suka gue?" Tanyaku seorang diri. "Oke. Waktu itu, Joan juga bilang begitu. Tapi kenapa gituuuu?"
Aku lantas menggeleng. Menyampirkan poniku. "Dih emang gue sejelek itu ya? Sampai kayaknya impossible banget si Para suka sama gue?"
Beberapa detik selanjutnya, aku menggeleng keras sambil berseru, "Tapi ini Bhadra Parasara, Rumi!"
Iya. Bhadra Parasara yang itu. Engga mungkin dong dia suka padaku?
"Terus kenapa dong?"
Aku lantas mengamati diriku sendiri. Tersenyum di cermin berulang kali dengan berbagai pose. Tapi, aku engga kunjung menemukan sesuatu yang kiranya sanggup membuat Para menyukaiku. Oke. Jerawatku memang sudah menghilang, tinggal bekasnya beberapa. Tapi aku engga putih. Wajahku juga biasa aja. Lalu apa dong?
Malaikat di pundak kananku membisikkan, "Barangkali Para memang tidak memandang kamu lewat fisik."
Setan di kuping kiriku berdecih. "Jaman sekarang, cowok suka tanpa memandang fisik? Cowok buta doang kali."
Betul. Jaman sekarang, apa-apa memang dinilai dari fisiknya dulu. Orang jelek saja inginnya punya pasangan yang cantik atau tampan. Lalu, mengapa tidak, jika Para pun mungkin begitu? Mendapatkan pasangan yang seimbang.
Huh.
Oke.
Dari awal memang aneh ketika Para mulai mendekatiku. Tapi, aku sudah membatasi diri bahwa dia hanya sekadar iseng, penasaran, atau mungkin taruhan dengan temannya untuk sekadar mempermainkanku. (Aku sudah mematahkan asumsiku kalau dia cowok mesum. Ya dia memang mesum. Tapi, menurutku dia engga mesum yang seperti itu). Lagipula, engga mungkin banget, dia menyukaiku dari awal. Lagian aku siapa gitu lah. Jangan melambungkan harap aja. Lalu, kalau begitu, apakah pernyataan sukanya kemarin salah satu muslihatnya?
Aku menjatuhkan diri di kasur, berguling ke sana sini. Hanya karena memikirkannya. Tapi, Oh ... my ... god. Senyum bodoh seketika terkembang di wajahku, engga dapat kutahan. Pemikiran jablaiku engga dapat dikontrol. "Gimana kalau dia beneran suka sama gue?"
Ugh.
Astaga. Aku menggigit jariku, sambil menerawang menatap langit kamar. Iya. Bagaimana kalau sebaliknya? Apa yang harus aku lakukan? Menerimanya? ASHHH!! Memikirkan hal itu malah membuatku gelisah sendiri, belum dengan hawa panas yang kurasakan menjalar di wajahku. Tapi, beberapa saat setelahnya, segera aku menggeleng keras sambil menepuk wajahku berkali-kali. Menyadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...