Aku tahu, aku itu matre banget. Baru ditraktir tujuh buku saja sudah luluh begini. Tapi, teman, kalau kamu totalkan ini bisa sampai satu juta lebih sendiri! Dan, apa memangnya yang kamu harapkan dariku? Aku menolak, merasa direndahkan, dan pergi begitu saja? Hell no, itu artinya ketololanku sudah mendarah daging namanya. Masa begitu disia-siakan. Sebagai orang yang miskin sepertiku, beli buku hanya saat punya uang lebih, tentunya kesempatan itu harus segera kuambil, tanpa pikir dua kali. Masalahnya adalah aku dalam dilema saat ini! Dilema pada dua pilihan, yang keduanya menguntungkan juga merugikanku.
Pertama, aku mau bertahan di hubungan pura-pura ini, tapi masalahnya itu sama saja aku harus bertahan dengan Para (yang mungkin memang betulan mesum)! Sedangkan pilihan kedua, berhubung fans-fansnya itu sudah engga mengangguku, aku ingin mengakhiri hubungan ini karena buat apalagi gitu loooh? Terus masalahnya apa? Masalahnya adalah ... gimana kalau dengan aku mengakhiri ini, justru mengakhiri juga kesempatanku mendapatkan buku gratis. Ya ... ya ... terserah. Nah, gimana dong ini? By the way ...
"Kamu kok bisa punya usaha begitu?" Tanyaku dari balik punggungnya. Selepas adegan perkasiran tadi, kami memutuskan langsung pulang.
"Hei. Aku lagi tanya loh," tegurku sambil memukul bahunya. Para melirikku dari kaca spion.
"HAH?" Teriakku karena engga mendengar suaranya. Terendam helm full face dan angin. "Kamu ngomong apasih?"
Para hanya memutar bola matanya, sebelum menancap gas semakin kencang. Ya Tuhan. Untung aku langsung berpegangan pada jaket cokelatnya. Gimana kalau aku terbang terbawa angin?? Huh. Sesampainya di depan rumahku ... dengan selamat. Lekas aku turun dari motornya.
"Aku bawakan," katanya sambil merampas kantong kertas yang membungkus bukuku. Dia lalu berjalan masuk, sebelum berhenti di depan pintu, dan berbalik menatapku. Ups. Segera aku berlari ke arahnya, dan membuka pintunya. Mengucapkan salam.
"Adek, Ibu sama Mas mau kondangan dulu," seru Bu Dewinta sebelum selang beberapa detik, beliau muncul dengan mengenakan kebaya. Bu Dewinta akhirnya menyadari kalau di belakangku ada sesosok makhluk.
"Loh ada Nak Bhadra?"Para melangkah mendekati Bu Dewinta dan menyalaminya. "Malam, Bu."
Bu Dewinta mengangguk-angguk. "Bawa apa itu?"
"Buku Rumi, Bu," sahut Bhadra.
"Loh kok kamu yang bawa?" Bu Dewinta lalu menoleh padaku. "Adek itu gimana. Kok malah orang lain yang disuruh bawa buku kamu."
"Saya bukan orang lain. Saya pa ...,"
"Dia yang maksa, Bu!" Kataku cepat menyela omongan Para yang aku tahu ujungnya. Sial. Untung belum kelepasan. Aku lalu mendelik pada Para agar menutup mulutnya itu. Aku menoleh kembali pada Bu Dewinta. "Kondangan ke siapa?"
"Kamu ini masih muda udah pelupa. Itu Donita kan nikahannya sekarang."
Aku mengerjap. Otakku rasanya berhenti beberapa saat sebelum sadar kalau Donita hamil, dikeluarkan, dan menikah muda.
"Kok aku engga diajak?"
"Gausah lah. Temu besan sampai malem nanti," ucap Bu Dewinta lagi. Dia lalu melirik jam tangannya, sebelum melarikan pandangan ke arah tangga. "Masmu dandan lama banget."
"Ayo, Bu."
Baru dibicarakan, Mas Danu turun dari atas. Rapi, bersih, dan wangi. Menggunakan celana kain hitam dan batik. "Loh kamu ngapain kesini?"
Aku mengerjap, dan menyadari bahwa Mas Danu sedang bertanya pada Para. Dia lalu berdehem. "Antar Rumi pulang, Mas."
"Sudah pulang kan? Terus kenapa masih di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...