ini kedua puluh lima

31.3K 3.8K 130
                                    

pagi-pagi update

"Heh. Bengong aja. Mikirin Para ya?"

Aku tersentak dan menoleh. Joan berdiri di sebelahku sambil menyengir garing. Yes, dia sudah masuk sekolah. Aku senang banget sumpah waktu tadi pagi, kulihat dia masuk ke kelas. Meski terlambat sih. Huh. Akhirnya aku engga akan sendirian lagi. Aku akan pastikan Joan makan tepat waktu, biar dia engga sakit dan meninggalkanku sendirian lagi di sekolah. Kapok.

Oh ya, dia juga tahu seluruh kejadian kemarin. Aku sudah menceritakannya sepulang dari rumah Para. Dan responnya? Tentu saja, pertama menjerit kencang, histeris—bikin gendang telingaku sakit—saat tahu kalau aku berpacaran dengan Para. Padahal aku menekankan berkali-kali kalau kami hanya bersandiwara untuk menolongku. Tapi dasar, badak, engga dengerin. Reaksi kedua, tentu saja memaki dengan menyebut segala jenis binatang, berikut umpatan-umpatan kasarnya.

"Sok tau," sungutku. "Orang gue lagi mikir, mau ambil motor kapan."

Joan berjalan di sebelahku. Kami sedang berjalan di koridor depan kelas buat ke lapangan indoor, mau olahraga. "Ngapain diambil. Kan udah ada supir pribadi."

Maksudnya Para. Aku tahu ungkapan jadikan pacar sekaligus supir pribadi. Aku memutar bola mataku malas. "Engga lucu."

"Dih. Siapa yang ngelucu anj—i ..."

"Minggir lo gendut."

Aku dan Joan serentak menoleh dan mendapati Prana—aku masih ingat, karena wajahnya sulit dilupakan—berdiri di belakang kami. Perasaan ruang buat jalan masih lega. Inginnya sih bilang begitu tapi ya apadaya, aku cuma adik kelas, dan penakut. Belum si Joan waktu itu pernah bilang kan kalau cowok di depan kami ini biang onar. Aku lalu minggir. Menarik lengan Joan untuk ikut minggir juga biar Prana bisa lewat.

"Lo ... punya badan kempesin dikitlah. Ngalangin orang jalan aja," katanya pada Joan sebelum berlalu meninggalkan kami. Belum dia juga mengedip genit padaku. Iuh. Apa itu?

"ANJING LU YE," teriak Joan memaki engga terima pada punggung Prana. Yang diteriaki hanya berdadah sok keren tanpa berbalik badan. Aku menarik lengan Joan yang hampir mengejar Prana.

"Udahlah. Ngapain diladenin."

Joan mendengus. "Sumpah sih. Darah doang ningrat. Tapi eek kambing. Nama Adimas Pranata terlalu bagus buat dia yang kelakuannya engga ada bagus-bagusnya."

Aku mengendikkan bahu. Engga mau ikut campur.

PRIIIIT

Aku melangkah ke tengah lapangan begitu selesai pemanasan—berlari lima kali putaran. Bergerombol dengan yang lain untuk mendengarkan perintah Pak Erfi.

"Hari ini voli ya. Latihan service, sama passing atas dan bawah."

"Engga jadi penilaian basket, Pak?" Tanya Jeno memastikan karena Pak Erfi bilang waktu itu bahwa hari ini harusnya kami ada penilaian basket.

"Nanti aja," sahut Pak Erfi. "Ya udah. Saya tinggal ngopi dulu ya. Jeno kamu awasi."

"Siap, Pak," sahut Jeno—si anak kesayangan itu karena dia atlet voli.

Aku dan Joan lalu membentuk menjadi satu kelompok dengan empat anggota lain. Kami berada sisi lapangan kanan, dan menempati formasi masing-masing. Aku berada di paling depan bagian tengah, sedangkan Joan menempati bagian untuk melakukan service pertama kali. Di sisi lapangan yang lain, aku lihat Cika, Sinta, Dinda, dan tiga orang lainnya sudah membentuk formasi yang sama.

PRIIIT

Bersamaan dengan ditiupnya peluit oleh Jeno, Joan yang kebagian untuk service melakukan pukulan. Bola oren itu melambung tinggi, ... dan semakin tinggi, melewati jaring net, dan jatuh mengenaskan di tengah lapangan karena engga ada yang memukul balik. Mereka semua lari terbirit-birit begitu Joan memukul bola dengan keras. Engga diragukan memang tenaga sahabatku itu.

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang