ini kedua puluh enam

27.7K 3.6K 141
                                    

"Hei."

"HEI!" Teriakku di kupingnya. Aku memutar bola mata sebal ketika Para hanya melirik dari kaca spion, dan kembali menghadap lurus ke depan. Mengabaikanku. Hih.

"Anterin dulu ke Gramedia!" Seruku sambil memajukan wajah ke kupingnya yang tertutup helm. Aku engga tahu dia mendengarku atau tidak, karena dia ngebut banget dan menyebabkan suaraku terbawa angin.

Hm. Tahu begini, aku mending ikut Joan aja tadi. Dia mengajakku untuk bersama-sama beli buku yang ditugaskan untuk diresensi. Tadinya aku juga sudah setuju. Sebelum aku ingat bahwa aku sudah membuat janji untuk pulang bersama Para, dan orangnya juga sudah menungguku di depan kelas. Akhirnya .... ya .... aku harus berpisah dengan Joan. Dan, kamu tahu apa yang paling menyebalkannya? Yes. Para mengabaikanku sedari tadi! Berjalan acuh di depanku, menyodorkan helm dalam diam—entah helm milik siapa itu. Bukannya aku pengin banget diajak ngomong ya—perlu dicatat, tapi paling engga dia merespon dong ucapanku barusan.

Lagian dia kenapa sih? Perasaan bawaanya emosian mulu. Kalau emosi dengan orang, ya lampiasin ke orangnya dooong. Jangan ke aku. Memangnya aku salah apa?

Lagian lo bukannya semangatin cowok lo. Malah semangatin cowok lain.

Aku masih ingat ucapan Joan tadi ketika aku menanyainya kenapa dia terus-menerus mendoakan keselamatanku. Tapi, semakin kupikirkan, makin aneh aja gitu. Pertama ... hanya karena aku menyemangati cowok lain yang notabene TEMEN SEKELASKU, dia jadi marah gitu? Childish banget. Lagian yang menyemangati dia bahkan jauh lebih banyak. Jadi, engga akan ada bedanya kalau aku engga menyemangati dia. Iyakan? Iya dooong. Teruuuus, kedua, memang dia siapa gituloh? Oke. Dia memang pacarku. Tapi kan masih ada embel-embel pura-pura dibelakangnya. Jadi, kenapa dia begitu peduli banget kepada siapa aku berteriak untuk disemangati.

"Jadi atau engga?"

Aku mengerjap, mengembalikkan pikiranku yang tadi melayang entah ke mana. Aku lalu menoleh dan mendapati kami sudah di parkiran mall terdekat. Aku lalu menengok ke depan—ke kaca spion—dan mendapati Para sedang menatapku. Lah, ternyata denger toh.

"Jadilah."

Aku lalu buru-buru turun. Mencopot helm dan menyerahkannya pada Para. Setelah mengunci motor, kami lalu berjalan memasuki mall dan melangkah ke gramedia yang letaknya di ujung.

"Cari buku apa?"

Udah engga ngambek lagi?

Aku melirik Para yang menyenderkan tubuhnya di rak bagian sastra. Tubuhnya miring menghadapku yang sedang melihat-lihat. Dia lalu bersedekap, menunjukkan kalau dia engga punya niat seujung kukupun untuk membantuku.

"Max Havelaar," kataku acuh menyebutkan judul yang harus diresensi oleh Pak Sadin. Aku sudah mencarinya di Perpustakaan Tribuwana, tapi engga ada. Payah.

"Oh," sahutnya sebelum pergi meninggalkanku. Aku melotot engga percaya melihatnya pergi begitu saja. Menghela napas—untuk menghilangan emosi yang mulai merangkak naik—aku kembali melihat-lihat di setiap rak. Karena bisa saja, itu buku terselip di rak yang engga terduga, semisal komik? Orang kan kadang engga punya tanggungjawab. Ambilnya di mana, letakin baliknya di mana.

"Engga ada."

"Astagfirullah," kata beristigfar sambil memegang dadaku yang berdebar-debar. Aku mendesis sebal padanya yang menunduk ke arahku.

"Engga usah ngagetin. Emang engga bisa?"

"Lebai."

Aku melotot. Enak aja dibilang lebai. Hei! Bayangkan saja, aku lagi berjongkok mengakses rak paling bawah. Saat sedang fokus-fokusnya melihat-lihat, tiba-tiba saja ada dia dari arah belakang mengagetkanku dengan berbicara di kuping. Aku berdiri dari dudukku—sangkin kagetnya aku bahkan hingga jatuh, lumayan sakit sih pantatku, walaupun jatuhnya dari jongkok ke posisi duduk. Tapi ya sama aja. Aku lalu mendengus ke arahnya, dan berjalan menjauh, menuju rak lainnya.

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang