Aku menegakkan dudukku. Melotot pada si biang bikin jantungan. Aku bertanya setelah berhasil mengendalikan shock-ku, "Apa kamu bilang?"
"Kamu harus jadi pacarku."
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Menatapnya engga percaya. Ini yang ingin dia katakan—solusi—untuk masalah ini? INI? Dengan menjadi pacarnya? Aku meragukan IQ yang dia punya. "Dan kenapa aku harus jadi pacar kamu?"
"You need me to protect you."
Aku mengernyit. "Dengan jadi ... pacar kamu?"
"Hm."
Aku tercengang. Rahangku rasanya jatuh ke lantai, sangkin engga percaya dengan apa yang barusan kudengar. Aku engga bisa berkata-kata. Orang bodoh aja tahu, dengan aku menjadi pacarnya, itu malah mengumpankan aku untuk dicincang oleh pada penggemarnya itu. Belum naik kelas, aku sudah jadi perkedel. "Daripada jadi pacarnya, mending gue pindah sekolah anjrit," gumamku lirih pada diriku sendiri.
"Non. N'y pense meme pas," geramnya marah. Aku mendongak, engga mengerti. (No, dont you dare).
"I dont need you to protect me ok?" kataku akhirnya. "I can protect myself." Ya, dengan menghindari berhubungan dengannya. Langkah itu pasti ampun dong.
Dia menyeringai. "O-ke."
Aku mengernyit. 'Oke' yang keluar dari mulut seorang Bhadra Parasara itu engga bisa diprediksi. Terakhir kali, dia bilang oke, dia berdiri di depan rumahku dan berkenalan dengan keluargaku. Kini, apa maksudnya dengan mengucapkan oke itu?
"Oke gimana?" Kataku memastikan. Para berjalan menuju piano, dan menyenderkan tubuhnya di sana, membuat bunyi-bunyi memekakan terdengar ketika jari-jarinya itu menekan tuts untuk bersandar. Aku meringis melihat barang berharga bagiku itu diperlakukan semena-mena.
"Oke, kalau kamu engga mau. Tapi kamu engga bisa memaksaku untuk menjauh."
"Egois," desisku. Dia menatapku tajam. "Kamu engga pernah tahu berapa lama aku terpaksa untuk menjauh karena memikirkan mereka akan ..."
Aku mengernyit. "Ya sama aja kalau gitu!" Kalau dia masih mendekatiku ya sama aja bohong banget. Fansnya yang bar-bar itu akan tetap menargetkanku untuk dijadikan samsak berjalan yang gratis. Para besedekap. "Gimana? Pilihan dengan kamu jadi pacarku, mereka engga akan macam-macam."
Aku mendengus. "Justru dengan itu, mereka jadi makin-makin," kataku jengkel. "Gimana sih, katanya juara olim geografi nasional," gumamku.
"Engga akan."
"Engga akan gimana?" Kataku jengkel.
"I can save you. They are afraid of me."
Aku mendengus. Dikira dia presiden sampai mereka—fansnya yang bar-bar itu—takut. "Oke. Mereka takut sama kamu. Lalu bagaimana kalau engga ada kamu? Ketika aku di kelas? Sendirian? Mereka akan tetap seperti itu."
"Non. Kamu bisa pegang omonganku. Mereka engga akan macam-macam. Ada ataupun enggaknya aku," katanya yang sedikit menarik perhatianku. Aku menatapnya, "Kok?"
Para menaikkan alisnya. "Tu n'as pas besoin de savoir." (You dont need to know).
Ini orang lagi pamer kemampuan bahasa asingnya atau sedang menghinaku sih (aku kan engga tahu apa yang diucapinnya). Huh. Oke. Meskipun masih ada rasa mengganjal di dalam hatiku. Menatapnya ragu, curiga. Berbagai spekulasi mulai bermain di kepalaku. Dia bakal melakukan apa? Mengancam? Memukuli? Atau justru ... membunuh? Hanya untuk membungkam mereka. Aku bergidik. Oke. Mari kita lihat. Apakah solusinya itu akan membawa kebaikan padaku atau justru ... semakin buruk. Dan jika, hasil yang akan didapatkan berkebalikan dengan janjinya itu, siap-siap saja aku akan ... pindah sekolah. Atau entahlah. Aku akan pikirkan nanti. Setelah hening cukup lama, aku akhirnya bersuara, "Berapa lama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Novela JuvenilCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...