ini ketiga

42.4K 4.2K 224
                                    

Yes, sama dengan impian remaja-remaja lainnya, aku juga ingin merasakan masa remajaku, khususnya ketika si SMA, berisi hal-hal yang menyenangkan seperti yang kubaca di buku-buku itu. Wajah yang glowing, terkenal, dikejar-kejar kakak tingkat yang populer, bahkan hingga menjadi rebutan cowok-cowok.

Tadinya, aku ingin berubah menjadi Tari si heroine di buku Jingga dan Senja, yang khas dengan warna oranye itu. Berhubung warna favoritku hijau, aku ingin memakai jepit rambut, anting, jam tangan yang pokoknya kesemuanya hijau. Selain karena ingin mirip dengan toko favoriku itu, aku juga ingin terkenal dengan 'Rumi si gadis hijau', siapa tahu, ada kakak tingkat seperti Ari itu yang menemukanku menarik. Tapi... itu semua hanya impian yang akan aku karang ketika mau beranjak tidur. Alias aku engga sekeren itu untuk dapat menjadi terkenal.

Aku engga glowing, you know why. Terus, aku engga terkenal, jelas. Lagian, apa yang mau digembar-gemborkan sehingga aku jadi terkenal itu. Prestasi? Engga ada. Humble, banyak teman? Nah. Temenku juga sekelas doang yang betul-betul akrab, sisanya ya karena pernah satu SMP, atau kebetulan temennya temenku dan kami hanya pernah say hi. Konsep berhijau-hijauan? No way. Jangankan beli ini itu yang serba hijau, untuk beli pulpen yang standar saja, aku kadang ragu, takut nanti dua hari lagi hilang. Apalagi kalau beli hal-hal berbau hijau yang unyu-unyu, alamat dilipat teman dalam sekejap.

Lagipula, di SMA Tribuwana ini, kayaknya engga ada yang mau sama aku: jerawat segede gaban, muka kucel, rambut kusut, khas remaja rata-rata. Jangankan senior yang keren-keren, bahkan kayaknya, yang seangkatan atau di bawah, juga engga sudi sama aku (well, aku juga engga sudi si sama mereka, soalnya mereka bukan Ari atau Henry Cavill). Hehehe.

Yes. Jawabannya kalau kamu tanya, emang di SMA Tribuwana, ganteng-ganteng?

Kalau katanya-katanya, sih. Buka kataku loh. Kata si Dita (dia temen sekelasku), Kak Idris yang paling ganteng. Aku engga tahu apa yang dilihat Dita, karena menurutku si Idris ini bukan seleraku deh.  Sedangkan menurut Nisa (dia juga temen sekelasku), Kak Wildan lah yang paling keren karena auranya tuh perkasa gitu, belum sikap tegasnya. Padahal, biar kukasih tahu, baunya si Wildan ini pasti engga enak banget! Dia kan kerjaannya di bawah matahari terus! Nah, kalau Joan sendiri bilang sih Bhadra Parasara (aku setuju, dikit).

Kata Joan, "Para tuh ya ... bagai oase di tengah gersangnya kehidupan SMA gue. Sujud syukur kalau Tuhan bisa menjodohkan gue sama dia. Terberkatilah anak-anak gue dan Para. Hihihi."

Dih.

Kalau bagiku, Bhadra Parasara itu memang tampan. Engga terbayangkan dalam hidupku aku bertemu makhluk seperti itu, tanpa harus terbang ke belahan bumi lain. Tapi ya bagaimana ... kalau kulihat-lihat Bhadra Parasara itu terlalu cueeek. Cool sih. Tapi buat apa kalau cuma bikin naik darah (sangkin cueknya), dan kenapa aku harus mengkhayal begini? Halah. Kayak akan tercapai aja. Aku menggeleng-geleng. Menyudahi khayalanku yang engga membumi ini.

Jadi, setelah melewati dua tahun di SMA Tribuwana, aku sudah mencapai kesimpulan akhir: engga ada satupun makhluk berjenis kelamin laki-laki yang mendekati tipeku (alias seperti Ari atau Henry Cavill). Catatan: Prospek hanya dilakukan pada golongan kakak tingkat, hal ini sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku yaitu bahwa aku ingin mencari Ariku. Benar-benar yang seperti Ari. Jadi, adik tingkat ataupun yang setingkat tidak masuk ke jangkauan mataku. Lagian, mereka jelek-jelek.

"Tumbenan Nirisha engga ngintilin Para ke kantin," celetuk Joan ketika dia baru kembali dari mengambil pesanannya di Bu Karti. Aku mengangkat kepalaku, sebelum melemparkan pandangan ke arah Para yang duduk tiga meja di sampingku, sedang makan dan sesekali mengobrol dengan Tama dan satu lagi cowok, aku engga tahu namanya.

For your information, Para dan Nirisha itu sejurusan walau engga sekelas.

"Tau deh. Engga ngurus," sahutku.

"O ya, gue kemarin lagi ngescroll Pinterest terus nemu ini," Joan lalu menyodorkan ponselnya. Menunjukkan gambar produk-produk perwatan dengan tulisan: 🔑 to soft skin. Oil gel soon as you get out the shower and Vaseline after you dry off #ThankMeLater

"Cobain deh, Rum, katanya nanti bau lu kaya snack gitu. Biar tuh gengnya Sofian pada mingkem," sahut Joan.

Jadi, kalau kamu mau tahu permasalahan kenapa Joan tiba-tiba menyodorkan gambar-gambar tersebut, adalah karena seminggu lalu aku curhat padanya, bahwa Sofian dkk (dia temen cowok di kelasku) menudingku belum mandi. Mereka engga tahu kalau kalimat singkat seperti itu sanggup membuat seseorang meninggal, karena hal itu tuh sensitif banget. Apalagi waktu Sofian bilang begitu, tuh lagi rame sama anak-anak cowok kelasku. Biarpun aku engga suka mereka (dalam artian romantis), tetep aja, aku malu. Nah, aku curhat sama Joan sambil nyumpah-nyumpahin tuh anak-anak. Pokoknya bawaannya tuh dongkooool abis.

"Kirim tautannya ke gue, Jo," sahutku.

"Tambahin pake ini, Rum. Ini nih, bentar," Joan lalu mengotak-atik ponselnya sebentar, sebelum menyodorkan padaku lagi. Kali ini dua buah produk cologne. "Katanya enak juga, beli dua, Rum. Buat gue satu, nanti gue ganti."

"Tapi, gue udah ada minyak wangi. Pucelle yang warna pink itu. Masih banyak, wanginya juga gue suka. Manis yang lembut gitu."

"Lu pakai tuh minyak wangi, tetep aja dibilangin bau sama Sofian. Udeh ganti aja. Ini harganya murce kok."

"Gue liat dulu duit gue cukup engga," sahutku sambil mengingat-ingat uang yang kusimpan di dompet di rumah.

Jadi, begitu akhirnya hingga aku pulang dari sekolah, membongkar uang di dompet dan menemukan satu lembar uang berwarna merah. Segera aku bergegas ke mini market terdekat dan membeli yang Joan sodorkan padaku tadi.

***

Hari berikutnya, ketika aku masuk ke dalam lingkungan sekolah, aku merasa seperti sosok yang baru. Apalagi ketika kuhidu bau di tubuhku, rasanya seperti kebun mawar tumbuh di setiap pori tubuhku. Oke, itu lebai. Tapi, beneran jos banget saran Joan kemarin. Kalian harus coba!

Mumpung hari ini aku engga ada jadwal piket, sambil melangkah riang, aku menyempatkan diri terlebih dahulu ke koperasi sekolah, ingin membeli nasi uduk bungkusan. Biasanya pagi-pagi begini sudah ada, dan kebetulan perutku keroncongan belum sarapan karena Bu Dewinta engga memasak.

Aku mengangguk pada penjaga koperasi di depan pintu, sebelum melangkah masuk menuju ke rak di bagian paling pojok, untuk mengambil sebungkus nasi dan setusuk sosis. Koperasi di jam segini, masih sepi banget. Jajannya juga baru beberapa yang sudah datang, salah tiganya ya, nasi uduk dan sosis serta kue pie itu.

Aku berdiri di depan rak, menimbang-nimbang satu sama lain bungkusan nasi, memilih yang sekiranya memiliki porsi banyak. Setelah memilih satu yang sekiranya lebih berat, aku lalu bergeser ke wadah sosis, dan kembali menimbang-nimbang, sosis yang paling panjang dengan bumbu yang banyak. Aku mengerucutkan bibir bingung, membutuhkan beberapa menit untuk menelitik lebih lama...

Hingga aku merasakan sebuah tangan menelusup ke pinggangku dan meremasnya pelan, disusul sesuatu yang menempel di balik punggungku, dan suara yang berbisik pelan di telinga kiriku, yang sanggup membuat bergidik.

"Sebelah kiri."

sudah keliatan hilalnya. gimana?

jangan lupa vote dan komen my loves. jangan jadi silent reader ya. your comments means alot for me!

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang