Sepertinya aku memang harus meminimalisasi obrolan malam dengan seorang Bhadra Parasara di depan rumahku. Akhir-akhirnya hanya bisa membuat jantungku lemas mendadak. Seperti kemarin ketika Para meminta untuk aku menginap di rumahnya hanya karena rumahku sudah gelap! Hell no. Ketika aku sudah dapat mengendalikan diri dari kejutan mendadak itu, segera saja aku berlari ke dalam rumah. Meninggalkannya. Huh. Untung engga terkunci.
"Soal nomor 4 practice 2. Siapa yang mau maju?" Kata Bu Fian di depan sana. Aku menundukkan wajahku, menghindari tatapan Bu Fian yang menelusuri sepenjuru kelas. Aku berpura-pura sedang meneliti jawabanku. Dalam hati, aku sudah komat-kamit biar engga ditunjuk.
"Kalau engga ada. Saya tunjuk aja ya."
Ya Tuhan. Ada-ada ujian. Ini lagi, yang pinter kenapa engga maju sih? Bikin jantung kebat-kebit anak-anak bodoh kayak aku kan jadinya. Aku melirik Joan yang juga sedang menunduk.
"Absen nomor ... tiga lima."
MAMPUS! Itu absenku. Sial. Sial. Sial. Aku mengangkat wajahku pelan, menghadap ke depan.
"Nomor tiga lima siapa? Sintia ya? Ayo Sintia, kerjakan."
Aku melongo. Hei! Tunggu! Itu nomor absenku, kenapa Sintia (absen di bawahku) yang dipanggil?
"Absen saya tiga enam, Bu." Kata Sintia mengoreksi.
"Oh yauda. Kamu aja yang maju."
Alhamdulillah. Memang rejeki anak soleha kayak aku engga kemana. Aku tersenyum lega, seolah beban hilang dalam sekejap. Berbalik dengan Sintia yang bersungut-sungut maju ke depan, dan mulai mengerjakan soal trigonometri di papan tulis.
"Bu Fian matanya sliwer keknya," bisik Joan.
Aku meliriknya. "Bodo dah. Yang penting gue engga puyeng cos sin tan."
"Cosec 60 derajat berapa?" tanya Bu Fian pada Sintia.
"Satu per akar dua, Bu."
"Bener?"
Kalau Bu Fian sudah tanya "Bener?" itu artinya jawabannya yang diberikan salah, dan harus pikir ulang. Aku lalu melihat catatanku berupa tabel persincosan, mendapati kalau cosec 60 itu dua per akar tiga.
"Dua per akar tiga. Bu. Hehe," kata Sintia. Dia lalu menghapus tulisannya yang salah itu.
"Hape lu kedip-kedip terus tuh," kata Joan. Aku melihat ponselku yang tergeletak di meja. Berkedip berkali-kali menandakan ada banyak notifikasi masuk. Ketika aku membukanya, beruntut pesan Whatsapp datang dari ... Reihan.
"Siapa?" tanya Joan bersamaan dengan Bu Fian berkata di depan sana, "Benar. Sudah cukup. Baik. Kita akhiri pertemuan hari ini. Semoga paham ya. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya."
"Baik, Bu."
"Baik, Bu."
"Dari Reihan," kataku.
Ya. Itu memang dari Reihan. Semalam, sesampainya aku di kamar, Reihan kembali mengechatku, dan tentu aku balas. Kami bahkan keterusan chatingan hingga saat ini. Ternyata anaknya asik banget! Hobi kami pun sama, baca buku dan nonton serial netflix. Kami bahkan berdebat apakah sosok Joe dalam series You itu creepy atau engga. Menurutku sih, creepy abis. Tapi kalau kata Reihan itu wajar aja. Namanya juga cinta mati. Hell. Aku engga setuju. Dari mananya, menguntit dan sebagainya yang dilakukan Joe itu engga creepy. Kamu nonton aja deh! Pasti tahu kenapa aku sebut creepy. Aneh memang Reihan.
Joan mengernyit padaku. "Akrab lu?"
Aku mengendikkan bahu. "Kagak sih. Tapi ya belajar mengakrabkan diri hehehe. Asik anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Fiksi RemajaCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...