Aku mendelik berusaha mendorong tubuhnya yang membuatku sesak. Kedua tanganku bergerak menjauhkannya dariku, dengan mendorong bahunya, tapi tenaganya kuat sekali. Bahkan justru kini kedua tanganku digenggamnya hanya dengan satu tangan dan diangkat di atas kepalaku! Engga mau pasrah, aku menggigit bibirnya yang masih saja mencumbu bibirku itu dengan keras. Dia melepaskan diri sambil meringis.
Aku masih menatapnya marah. "Bang—
Belum sempat aku memakinya, Para menatapku tajam dengan bibir yang mengeluarkan darah, kembali mendesakku, dan kembali menciumku. Hingga aku dapat rasakan anyir darah dari bibirnya. Sinting! Kali ini aku memberontak dengan kuat, berusaha agar dia melepaskanku. Tapi, nihil. Tubuhnya yang besar justru kian mendesakku hingga aku terpojok ke pintu, membuatku engga punya ruang gerak untuk memukulnya, belum dengan tangannya yang serasa melingkupiku: satu kembali menggenggam kedua tanganku dan satu mencengkeram daguku, memaksaku mendongak.
Ya Tuhan.
Aku memejamkan mata ketika ciumannya bertambah dalam, bunyi kecupan engga dapat terhindari. Tanganku yang semula digenggamnya sekarang terbebas, menggelantung di kedua sisi tubuhku, tidak bertenaga. Sesuatu terasa mendesak ingin memasuki mulutku, bersamaan dengan tangannya yang bebas meremas pinggangku, sedikit mengangkatku agar menyamakan tinggi badannya.
Mendengar erangan dalamnya, aku membuka mata dan bertubrukkan langsung dengan mata tajam Para yang juga menatapku. Tubuhku tersentak, mengingat apa yang sedang kami lakukan. Entah kudapat dari mana kekuatanku, aku sanggup mendorongnya, dan berlari ke luar, menjauhi tempat terkutuk itu. Sambil berlari, kuraba bibirku yang serasa aneh, lebih basah, dan tebal. Belum-belum dengan bulu romaku yang sempat kuraba berdiri semua, dan tubuh yang menggigil. Aku engga bisa menutupi kalau aku terlalu takut.
"Baru balik kantin, Rum? Joan mana? Ini dia belum kas," sebuah suara menyentakku kembali ke kenyataan. Aku mengerjap dan mendapati diriku sudah sampai di kelas, dan di sampingku terdapat Cika.
"Sori?"
"Ngelamun mulu lo, Rum. Ini gue tanya si Joan tumbenan engga sama lo, dia belum bayar kas nih."
Astaga! Joan! Aku melupakannya. Apakah dia masih di depan toilet itu? Tapi bukankah aneh jika dia engga merasa curiga aku terjebak terlalu lama di dalam toilet? Bukankah seharusnya tadi dia menyusulku ke dalam, dan dapat mencegah kejadian tadi terjadi? Dan bukankah dia pastinya akan melihatku ketika aku dengan tergesa-gesa meninggalkan toilet itu barusan? Atau, apakah Joan meninggalkanku ke kantin, seperti kebiasaannya, sehingga dia tidak melihat Para menyelinap masuk?
"Woi! Ngelamun lagi."
"Eh..., engga tahu, Cik. Engga sama gue dia."
"Tumben," sahutnya sebelum berjalan menjauhiku.
Aku lalu berjalan ke arah bangkuku, dan terpengkur memikirkan kejadian barusan. Serentetan omelan yang dilayangkan Joan padaku ketika ia sampai di kelas hanya kutanggapi kata maaf saja. Akupun bahkan lupa dengan niatku untuk memarahinya juga, karena meninggalkanku sehingga aku mengalami kejadiaan seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Genç KurguCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...