ini keempat puluh tiga

24.2K 2.8K 240
                                    

Pagi ini, Para engga bisa menjemputku karena dia harus mengantar adiknya. Aku engga masalah. Lagipula, aku juga malu untuk sekadar manatapnya setelah kejadian di festival itu. Berkali-kali aku harus menampar wajahku agar menghentikan senyum tolol yang terpasang di wajah.

Belum apa-apa, baru membayangkan saja, wajahku sudah berubah jadi tomat! Merah dan panas. Habis, mau bagaimana lagi aku masih engga menyangkan kalau akhirnya begini!

"Kek orang sinting lo," guman Joan setelah melayani konsumen pulsanya. Aku yang sedang menutupi wajah konyolku dengan buku pinjaman perpus mendengus. Engga tahu aja dia, sok main komentar asal kayak netizen.

Ponselku bergetar. Aku kira dari Para, ternyata dari operator. Pesan terakhirnya: Aku antar Buwan. Engga bisa jemput. Yang aku balas OK. Bener-bener engga ada kesan romantis-romantisnya! Datar dan tepat sasaran.

Saat di kantin pun, aku sudah kegeeran dengan wajah semerah tomat, dan berkali-kali curi pandang ke arahnya. Tapi, Para bener-bener menyebalkan! Engga mendekatiku, bahkan menoleh sedetik pun. Dia cuma asik bercanda dengan Prana dan temannya. Apa-apaan kemarin sok bilang engga bakal survive kalau kehilanganku? Huh boong banget.

"Mau liat orang dakwah engga?" Tanya Joan yang sedang menghitung uangnya itu. Sekolahku saat ini sedang mengadakan bulan bahasa, yang salah satu lombanya itu dakwah atau ceramah. Diadakan di aula sekolah. Seluruh KBM ditiadakan.

"Kali aja, lo jadi bener dengerin orang ceramah," celetuknya lagi. Aku berdecih. Kayak dirinya orang bener aja. Tapi karena aku gabut (seharian ini bener deh cuma duduk-duduk liatin orang lomba), aku menjawab, "Ayo deh."

Kami berjalan beriringan menuju aula sekolah, begitu sampai di sana aku berkata, "Masuk dulu, Jo. Gue mau ngembaliin ini dulu."

Aku mengangkat novel yang beberapa hari lalu kupinjam itu. Joan mengangguk dan masuk ke dalam aula. Aku melanjutkan langkahku ke perpustakaan yang ternyata sepi. Mungkin karena sekolah sedang mengadakan acara. Aku naik ke lantai dua, dan mengembalikan buku itu ke tempatnya kembali.

Saat membalikan badan, rasanya tulang-tulangku lolos begitu mendapati Para di belakangku. Astaga. Kayak setan aja sumpah. Tiba-tiba nongol begitu, tanpa suara lagi. Aku mengelus dadaku, meredakan rasa kaget.

"Dari kapan kamu di situ?" Tanyaku sengit.

"Barusan."

"Oh," kataku cuek.

"Nanti mau ke rumahku?" Tanyanya sambil bersandar miring di rak, menghadapku. Aku yang sedang memilih lagi novel yang akan kupinjam, meliriknya. "Engga."

"Kenapa?"

Males! Dari tadi, dia tidak menyapaku sama sekali, pura-pura tidak melihat padahal sebetulnya tahu. Selalu berkeliaran di depan mataku. Sekarang, baru sok kenal.

"Kamu ngapain sih di sini? Kemana kek. Ikut dakwah kek." Kataku dengan nada ketus. Asal cetus.

Para yang masih bersedekap di sebelahku itu berkata, "Kenapa emang? Aku kangen sama pacarku."

Aku meliriknya, "Siapa pacar kamu?"

Bibirnya tertarik sedikit, "Engga tahu pun. Kamu tahu siapa pacarku?"

Ih! Menyebalkan banget! Aku meliriknya sinis. Bergumam pada diri sendiri, "Dari tadi engga nyapa pun. Giliran sepi jadi sok kenal."

Para mengembuskan napasnya, "Iya. "

Aku melotot. "Iya apa?"

"Engga nyapa. Jangan ngambek."

"Aku engga ngambek!"

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang