ini kedua puluh tiga

30.8K 3.6K 67
                                    

Aku menggigit pipi bagian dalamku, mencegah mulutku untuk mendampratnya. Aku lebih memilih untuk mengabaikannya dengan membelokkan motorku dan meninggalkannya. Tapi, aku tahu, dia engga akan melepaskanku begitu saja. Dalam sekejap dia sudah menyusulku dengan kakinya yang panjang itu.

"Siapa yang melakukan ini?"

Aku menatapnya tajam yang sekarang berdiri di hadapanku dan memaksaku berhenti dengan tangannya memegang motorku. Ini dia beneran bodoh, tolol, goblok, atau gimana sih? Segala masih tanya pelakunya? Hei! Gunakan otak kamu yang katanya jenius untuk berpikir.

"Aku panggilkan bengkel langgananku," katanya ketika sekali lagi melarikan matanya ke ban motorku dan joknya yang naudzubillah sekali.

"Engga usah!" Desisku sebelum menyentak tangannya yang masih memegangi motorku. Aku buru-buru menuntun motorku menjauh darinya. Sumpah deh, kenapa dia harus nyusul segala? Aku meneleponnya tadikan bukan untuk minta disusul. Tapi ... cuma sebal aja, dan ingin memakinya. Aku juga sudah malas untuk dekat dengannya lagi. Bagaimana jika besok, dan besoknya lagi, aku harus menimpa kejadian seperti ini—bahkan lebih buruk?

"Aku antar pulang," katanya ketika berhasil menyusulku lagi. Tanpa persetujuanku, dia merampas kunci motor yang masih menggantung. "Setelah orang bengkel sampai."

"Aku bilang engga usah. Kamu budek?!"

Para hanya melirikku sekilas. Engga menyahuti omonganku.

"Balikin kunci motorku."

"Kamu pulang sama aku."

"Aku engga bilang iya."

"Aku engga butuh persetujuan kamu."

"Pemaksa."

"Mas?"

Para menoleh. Begitupun juga aku. Orang bengkel langganan Para. Mereka lalu terlibat obrolan—tanpaku, tentunya. Aku mendengus kesal. Merasa bahwa Para engga memperhatikan, aku merogoh kantong rokku dan mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online. Aku engga sudi jadi samsak berjalan lagi. Tapi, aku tersadarkan sekali lagi bahwa ... aku engga punya kuota. Astaga mau kabur, tapi engga ada amunisi tuh benar-benar memalukan dan mencoret harga diri banget.

"Permisi, Mbak. Motornya saya bawa dulu ya."

Aku menoleh dan mendapati Mas bengkel meminta izin padaku untuk menyerahkan motorku yang sedari tadi kupegang padanya. Aku menoleh pada Para yang juga sedang menatapku. Dia mengangguk. Aku lalu menyerahkan motorku berikut helmku yang juga menjadi korban. Setelah berbasa-basi sedikit, mereka—ada dua orang, akhirnya mengangkut motorku.

Aku menggigit bibirku. Mengabaikan cowok yang berdiri di belakangku. Aku menoleh ke sekitar, melihat apakah ada angkutan yang lewat. Tapi nihil. Aku melirik sekilas ketika Para bergerak melewatiku, berjalan begitu saja mendekati motornya, tanpa berkata sepatah pun—bahkan ucapan maaf. Tunggu, dia mau meninggalkanku gitu aja?

"Naik."

Aku mengangkat wajah. Mendapati Para sudah menunggangi motornya.

"Aku naik ojek," kataku. Setan di telinga kiriku mendengus, please deh Rumi. Ego lu disingkirin dulu napa. Malaikat di sisi lainnya ikut mengangguk, menyetujui.

Para mengangkat alisnya. "Sudah pesan?"

Sudah pesan gimana. Punya kuota buat menjalankan aplikasinya aja engga. "Belom."

"Yaudah. Tunggu apalagi?"

Aku mendengus, dan berjalan mengahampirinya.

"Tunggu."

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang