ini keempat puluh dua

22.8K 3K 364
                                    

Ucapan demi ucapan yang Joan katakan rasanya menyerbu satu per satu ke otakku ketika melihat Para berdiri di depan pintu. Aku bergeming. Hanya berdiri kaku di hadapannya. Aku memerintahkan otakku untuk melakukan apapun, tapi sepertinya otakku juga ikut membeku.

"Hi," sapanya sambil menyunggingkan senyum yang rasanya manis sekali.

Sial. Aku menggigit bibir bagian dalamku. Menghentikannya untuk menyunggingkan senyum. Tidak adil. Kenapa ... Para terlihat begitu sempurna? Kenapa?

Kurasakan pipiku memanas dan mungkin saja bersemu. Aku segera menunduk. Hanya untuk mendapati ... tangannya terjulur ke arahku. Aku menatap tangan lebarnya itu, sebelum mendongak. Para tersenyum manis. Mata cokelat madunya yang bersinar itu menyipit.

"Ayo," katanya.

Aku ... masih diam terpaku. Memandangnya, sembari menikmati sesuatu yang merambat di dalam dadaku ... membuatnya penuh, dan terasa akan meledak. Para menaikkan alisnya, sebelum dia meraih tanganku. Sepanjang perjalanan, selama itu pula aku menimbang-nimbang sembari menatap figurnya dari belakang. Benarkah sesuatu yang membuat dadaku panas ini ... karena aku menyukainya?

"Mau lihat pameran dulu? Atau ke pasar malamnya?"

Aku mengerjap. Para yang berjalan di depanku sambil tangannya masih menggengamku, menoleh.

"Pameran boleh," kataku pelan.

"Oke," sahutnya sebelum memandang ke depan, dan menarik tanganku pelan. Membelah kerumunan orang yang memadati tempat ini. Aku mengikutinya. Tiada fokus dengan keadaan sekitar. Aku bahkan tiada mengeluhkan mereka yang menyenggolku, ataupun menginjak kakiku. Aku ... hanya fokus pada figur punggung lebar Para. Hanya padanya. Hingga akhirnya tubrukan keras menghantam pundakku. Membuatku terhuyung, dan genggaman tanganku dan Para terlepas. Orang-orang menyerbu dengan tidak sabar. Membuatku semakin menjauh dari Para. Namun, saat itu bahkan mataku tiada lepas dari punggungnya yang sekarang berbalik dan mencari keberadaanku. Saar itu, rasa-rasanya, suara bising dari komedi putar atau musin live di panggung sana tiada terdengar. Sunyi senyap. Orang-orang satu per satu menghilang dari pandanganku. Waktu seakan berhenti berputar. Saat itu ... hanya ada aku dan Para yang membalikkan badan. Engga adil, kenapa tiba-tiba rasanya di sekitar cowok itu ada banyak lampu yang membuatnya makin bersinar?

Saat itu juga aku sadar bahwa ...

Aku memang menyukainya. Entah bagaimana caranya dan entah sejak kapan.

"Ayo," katanya sembari menghampiriku. Dia kembali menggengam tanganku. Erat.

Waktu yang rasanya berhenti, kembali berputar. Suara bising kembali terdengar. Kerumunan orang kembali terlihat. Dan sepanjang malam itu, aku berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Ketika melihat pameran batik, lukisan, kerajinan tangan, atau bahkan ketika kami dilanda kehausan, dan dia memesan minum.

"Kenapa?" Tanyanya ketika mendapatiku memperhatikannya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang