"Ekhm."
"Lo ... Rumi Prabandani?"
Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Nirisha berbicara padaku.
"Asik. Gelut nih."
"Rame nih rame. Mau rebutan cowok."
"Jelas Nirisha yang menanglah."
"Ayo cakar-cakaran. Gue sih pilih Nirisha."
"Tonjok aja tuh mukanya si cabe, Sha. Enek gue liat dia. Sok cakep deketin Para."
"Betul."
"Jambak sekalian."
"Betul."
Aku menatap sekeliling, dan menyadari bahwa anak-anak sedang menatap kami—aku dan Nirisha—penasaran dan antusias. Aku lalu kembali mendongak melihat Nirisha yang masih berkecak pinggang di samping mejaku. Manusia yang menurutku, paling manis di Tribuwana.
"Iya."
Begitu mendapati persetujuanku bahwa aku memang Rumi, Nirisha mulai melarikan pandangannya meneliti ... badanku mulai dari bawah hingga ke atas, berkali-kali sambil bibirnya mengerucut ke samping, seolah tampak sedang berpikir. Apa yang ingin dia periksa? Engga ada sesuatu yang berharga di diriku. Seharusnya dia berkaca pada dirinya sendiri.
"Lo punya apa—yang engga gue punya?"
Aku mengerut dahiku, bingung. Itu ... bukannya kebalik? Aku malahan yang engga punya apapun—karena semuanya dimiliki olehnya. Aku menggeleng engga paham.
"Lo pasti punya sesuatu yang lebih dari gue. Kalau engga kenapa Para bisa mau sama lo?"
"Saya engga ngerti."
Nirisha memutar bola matanya, malas.
"Terus kenapa Para mau sama lo?" Nirisha masih menatapku penasaran. "Gue perhatiin juga engga ada yang istimewa dari lo."
Memang.
"Lo biasa aja—jerawatan, pendek, kusut. Persis yang lain," gumamnya pelan, mengabsensi kekuranganku satu-satu. "Terus kenapa Para lebih milih lo dari gue?"
Hening beberapa saat. Aku juga engga tahu mau jawab apa.
"Lo," kata Nirisha menyentakku dari lamunan. Aku mengangkat kepala, menantinya menyelesaikan ucapan. "Kalau udah nemu sesuatu—yang buat lo lebih dari gue—harus kasih tau gue. Gue mau liat seistimewa apa lo. Sepadan engga ..."
"ADA APAAN NIH? MINGGIR. MINGGIR. NGALANGIN JALAN ORANG LAPER AJA LO."
Aku menoleh ke sumber suara—yang menyela ucapan Nirisha barusan, dan mendapati seorang cowok (aku engga tahu namanya, tapi kurasa dia seorang senior) melangkah membelah kerumunan yang tadi mengelilingiku dan Nirisha. Di belakangnya menyusul Kak Wildan dan beberapa senior yang kuperhatikan merupakan temen sekelas Para—yang dulu membeli risolesku. Kuperhatikan tampilan mereka juga masih amburadul, sama seperti waktu itu—terkecuali Wildan si presiden PKS sih.
"Oh ... lo," sahut si cowo tanpa nama itu, ketika tahu kalau Nirisha—dan aku—yang menyebabkan kerumunan itu. "Engga heran sih. Pawangnya engga sekolah, lepas kandang seenaknya."
Cowok tersebut melirikku sekilas. Nirisha menoleh sinis. "Apasih. Sok keren. Ganggu orang aja."
Ck. Saat marah pun, masih perfect. Tuhan terlalu berbaik hati sewaktu menciptakan cewek di depanku ini.
"Kerjaan lo ternyata kalau engga nempelin Bhadra, ngegilas adik kelas ya, Nya? Berasa hebat betul," kata si cowok mendengus. Dia lalu berkata pada temannya, "Engga ada kerjaan banget jadi cewek."
![](https://img.wattpad.com/cover/242793465-288-k471245.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...