Aku menggeliat ketika mendengar getaran dan bunyi alarm. Mengernyit saat membuka mata karena silaunya cahaya yang menembus jendela. Setelah berhasil menyesuaikan dengan keadaan, aku meraba meja di samping ranjang untuk mengambil ponselku, dan mematikan alarmnya. Aku mengernyit melihat sebotol air putih di atas nakas. Perasaan tadi engga ada? Kok ... Aku menggeleng, mengacuhkannya. Duduk terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa yang berceceran. Setelahnya aku menggerak-gerakkan tubuh yang terasa kaku, dan membenahi ranjang yang kusut masai, lalu bergerak ke luar UKS.
"Sudah enak?"
Mbak UKS bertanya padaku ketika aku sedang mengaitkan tali sepatu. Aku mendongak dan menyengir tiga jari. "Sudah, Mbak. Tidur memang obatnya. Makasih ya, Mbak, minyak kayu putihnya."
Mbak UKS mengangguk. Aku lalu mengangguk, dan berjalan pergi. Baru tiga langkah, aku berhenti dan kembali menoleh. "Lupa saya. Makasih juga pijatannya, Mbak. Enak bangeeeet."
"Hah??"
Aku kembali mengumbar senyum tiga jari, dan berlalu menuju kelas, mengabaikan pandangan bingung Mbak UKS.
***
"Sumpah, sih ya. Susah banget anjir. Itu ulangan harian atau ujian masuk kuliah sih? Ya Tuhan."
Aku menyenderkan lesu kepalaku di meja, menatap Joan yang berkali-kali mengumpat, menyumpahi soal-soal ulangan harian matematika wajib yang barusan kami kerjakan.
"Pasrah sih gue kalau dapet nol," balasku kemudian mendesah ketika mengingat jawaban asal yang kutulis. Boro-boro mencontek, partner in crimeku aja belum mengerjakan soal karena di luar kelas. Jadi, tadi memang dibagi dua ronde. Aku di ronde pertama, dan Joan di ronde ke dua. Tumbenan banget sebangku dibagi dua. Huh. Padahal biasanya aku selalu seronde dengan Joan. Jadi, aku bisa mencontek padanya, yang juga mencontek ke teman yang lain. Nah, sekarang? Jangankan mencontek, aku aja engga percaya pada sontekan yang akan diberi sama teman-temanku! Karena yang seronde denganku itu bodoooooh semua! Yang pintar-pintar ronde berikutnya.
Enak banget Joan. Pasti nilainya bagus deh.
"Halah. Orang lo seronde sama yang pinter-pinter."
"Justru itu! Yang pinter itu ya... justru medit!"
Kami lalu menghembuskan napas bersamaan. Pasrah pada nilai yang akan membawa kami untuk remedi, dan mengulang soal lainnya lagi agar nilai kami pas KKM.
"Assalamualaikum, anak-anak."
Kami mendongak, dan mendapati Bu Isah, guru bahasa Jawaku memasuki kelas. Seketika aku bangun, dan menegakkan badan. Setelahnya kukeluarkan buku bahasa Jawaku dan LKSnya.
"Coba yang piket mana?"
"Joan, Bu!"
"Joan engga pernah piket, Bu."
"Hehehe. Maaf, gais. Namanya juga telat," seru Joan sambil menyengir.
"Joan, ambil majalah berbahasa Jawa di perpustakaan sana. 36 buah ya."
"Judulnya apa Bu majalahnya."
"Terserah, yang penting isinya pakai bahasa Jawa."
"Yah, Bu. Masa sendirian siiiiih."
"Ajak Rumi."
Aku mendongak menatap Bu Isah, ingin memprotes karena hari ini bukan jadwal piketku. Lagipula, aku merasa engga nyaman kalau banyak gerak. "Tapi, Bu."
"Siap, Bu!"
Joan berteriak dengan semangat, membuat protesku engga terdengar. Aku menoleh jengkel, tapi hanya dihadiahi cengengesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Bener-bener biasa aja, sumpah. Tugasmu simpel, cuma menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi, Nirisha Moora, cewek yang cakepnya abis-abisan sampai bis...