ini kesepuluh

34.3K 4.3K 127
                                    

"Anjing, siapa nih?"

"Masuk-masuk kelas orang bae, engga pake salam lagi."

"Ngapain, dek, di situ?"

"Weh, anjir, ada dedek gemes. Siapa nih namanya?"

"Degemnya siapa nih? Lo ya, Dan! Oi, Wildan ada degem lo tuh di depan."

"Siapa, anjir? Kenal juga kagak gue."

"Terus itu degemnya siapa? Bhadra?"

"Oi, Badra mana? Ngilang mulu itu bocah. Nyebat ya?"

"Yoi, di belakang."

Beragam pertanyaan terlontar padaku yang masih berdiri kaku di depan kelas. Aku hanya meringis sambil menatap ke arah mereka dan Cika bergantian. Keringat dingin seketika muncul di beberapa tempat. Engga kunjung mendengar suara langkahan kaki Cika yang memasuki kelas, aku lalu menoleh dan melotot ke arahnya yang dengan tega mengorbankan aku. Lihat, dia masih aja cengengesan di luar. Menyebalkan sekali. Rasanya ingin sekali kucakar muka sok kalemnya itu.

Ya Tuhan, bisakan petir menyambarnya saja? Aku terlalu muak dengan orang seperti dirinya.

Melihat pelototanku yang semakin menjadi-jadi, belum ditambah bibirku yang komat-kamit menyumpahinya, Cika lalu melangkah ke dalam kelas dengan mengucap salam. Berdiri di sampingku, dan berkata, "Permisi, Kak. Kami dari kelas 11 IPA 5 mau jualan risoles buat pelajaran Kewirausaahan."

Aku menghela napas jengkel menatapnya, sebelum mengalihkan pandanganku ke depan. Ke arah siswa-siswa itu yang sedang menatap kami dengan berbagai pandangan. Di pojokan sana, berkerumun siswa cowok yang engga jelas tampilannya (soalnya seperti berandalan sekali, padahal Pak Hadi tuh serem abis) sedang menatap kami geli. Maksudku, baju OSIS yang dikeluarkan, tidak memakai dasi, dan tidak dikancing adalah suatu bentuk pelanggaran berpakaian terberat. Lebai sih, tapi memang begitu aturannya.

Mungkin karena mereka anak IPS. Jadi, engga takut sama Pak Hadi. Maksudku, mental mereka pasti kuat sekali. Pikirku dalam hati.

Selain mereka, di barisan paling depan, anak-anak perempuan juga sedang berkerumun, aku menduganya sih mereka sedang menggosip. Biasa. Sama sepertiku dan Joan jika ada jam kosong. Mereka menatap kami dengan pandangan sinis. Lainnya tersebar di seluruh kelas. Aku mengedarkan pandangan, tetapi orang yang kucari engga ada. Untung. Aku juga engga mau melihat dirinya.

"OOOOOH MAU JUALAN."

"Jualan apa tuuuh?"

"Coba sini, Mas mau liat, deek?"

"Jualan risoles, Kak," jawab Cika sambil tersenyum manis. Dia lalu melangkahkan kaki ke sudut belakang, tempat anak-anak cowok tadi berkerumun.

Aku melotot ngeri pada Cika.

Ini anak bener-bener tebel muka banget. Nyalinya juga engga main-main.

Sambil menyusulnya, aku sekilas mengangguk dan melontarkan senyuman pada senior cewek yang sedari tadi memperhatikan kami dengan sinis. Khususnya sih ke Cika. Sesampainya di samping Cika yang sedang melayani anak-anak itu, aku juga mengangguk pada mereka.

"Ini, Kak. Masih anget. Dibeli yuk, Kak. Pleaseeee," kata Cika menggunakan nada manis. Nada yang biasa dia gunakan ketika sedang cari muka. Aku meringis pelan mendengarnya. Enek.

"Berapaan ini?"

"Isinya apa aja?"

"Boleh ngutang engga?"

"Waduuuh, jangan dong, Kak. Nanti saya rugi, dong," kata Cika lagi membalas pertanyaan mereka sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Ini yang satunya ikut jualan juga?"

to be young and in love [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang