Part 26

1.4K 112 10
                                    

Ava meletakkan tasnya secara asal di lantai dan langsung mendudukkan diri di atas tempat tidurnya. Pikirannya masih terpaku pada rentetan kejadian sebelumnya. Rommy, apasih yang gadis itu pikirkan saat melakukannya dengan Reynald? Lalu kenapa juga Reynald tak mau tanggung jawab layaknya seorang gentle yang melekat pada dirinya selama ini? Selain itu, kenapa Azlan harus mendiamkannya sejak kejadian pagi tadi? Cowok itu lebih sering melamun dan menghindar. Ava benar-benar tak tau apa yang salah. Kalau soal tamparan di pipi Reynald itu, hah! Maaf saja, Ava tidak merasa melakukan kesalahan. Hanya satu tamparan tidak sebanding dengan apa yang Rommy alami. Syukurnya Rudi membuat bonyok Reynald, jadi setidaknya Ava agak lega.

Walau sebenarnya tak semuanya salah Reynald. Rommy juga salah. Mereka melakukannya tanpa paksaan. Satu-satunya yang membuat Reynald lebih salah dari Rommy adalah karena cowok itu menolak bertanggung jawab.

Ava mengusap kasar wajahnya. Dia berdiri dan meletakkan tasnya dengan benar di atas kursi belajar. Mengambil handuk dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Air dingin mungkin bisa sedikit menyegarkan pikirannya.

Bergeser ke rumah sebelah, seseorang duduk mematung dengan sekaleng bir di tangan kirinya. Seragam kebanggaan anak SMA Negeri ini masih melekat di badannya. Tapi sungguh, dia bahkan tidak berniat beranjak dari tempat duduknya.

"Gue hamil, Yon."

Azlan menutup matanya seraya menunduk dalam. Mau sampai kapanpun rasa bersalah tak akan membiarkannya hidup tenang. Dia menyuruh Reynald bertanggung jawab sedangkan dia sendiri?

Getaran ponsel yang tergeletak di lantai kayu gazebo itu membuat Azlan harus menarik diri dari lamunan panjangnya. Sederet nama muncul di layar. Mengembuskan napas panjang, Azlan meraih benda pipih berwarna hitam itu dan mendekatkannya ke telinga setelah menggeser ikon berwarna hijau.

"Halo."

"Yon, bisa tolong aku?"

Suara serak seperti sedang menangis itu cepat saja membuat Azlan berdiri dari tempatnya dan terserang panik mendadak.

"Kenapa Kyl?"

Masih dengan ponsel di telinga seraya mendengarkan penjelasan Kyla, Azlan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Dia menoleh pada Pak Raden yang tengah menikmati kopi di meja dapur.

"Pak, siapkan mobil."

Cepat-cepat Pak Raden mengelap mulutnya dengan punggung tangan dan menunduk sambil menjawab, "Siap, Tuan muda."

Azlan naik ke lantai dua di rumahnya, masuk ke kamar dan melepas kancing seragamnya satu per satu dengan tangan kirinya. Agak lambat, dan saat ini dia teringat seseorang yang biasa dia mintai bantuan. Tatapannya beralih pada jendela dengan gorden terbuka, dia bisa melihat Ava yang tengah bergerak kesana-kemari di kamarnya dengan handuk berwarna putih membungkus rambutnya.

Azlan tersenyum miring, sepertinya dia terlalu bahagia akhir-akhir ini hingga melupakan hal paling penting dalam hidupnya. Gadis tetangga sebelah itu membuatnya melupakan tanggung jawab dan jadi ingin lari bersamanya lalu bahagia bersama.

Padahal, sampai kapanpun dia tak boleh bahagia. Hal yang pantas untuk seorang bajingan sepertinya. Sampai kapanpun, dia tidak boleh memedulikan orang lain melebihi orang yang menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak boleh peduli pada Ava Binar Maharani melebihi Kyla Ananda Mahesa, dan Axelion anaknya.

***

Semburat jingga sudah berganti awan gelap ketika Azlan sampai di rumah sakit. Dia cepat-cepat menuju ruang ICU, tempat yang disebutkan Kyla di telepon beberapa waktu lalu.

"Kambuh lagi?" tanya Azlan yang baru saja sampai, dia bisa melihat Kyla yang duduk di kursi tunggu mendongak ke arahnya dan mengangguk lemah.

"Aku takut, Yon. Dia makin sering kambuh akhir-akhir ini. Aku takut dia nggak bertahan," Kyla menutup wajahnya yang sembab seperti habis menangis itu, "Dia bahkan baru 21 bulan," lalu bahunya bergetar menandakan bahwa dia kembali menangis.

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang