Part 07

1.6K 138 5
                                    

Rasanya Ava lega luar biasa saat mendapati Dylan duduk di atas motor yang baru saja berhenti. Gadis itu menoleh ke belakang, di sana gerombolan remaja laki-laki sudah berhenti mendekat. Mereka terlihat tengah membicarakan sesuatu.

"Ava? Lo ngapain malam-malam di sini?" tanya Dylan dengan dahi berkerut. Bolehkah Ava berharap kalau cowok itu tengah khawatir?

"Gue... kesasar," jawab Ava sambil meringis.

"Kesasar? Serius?!" tanya Dylan terkejut. Jelas lah, hayo coba pikirkan, anak SMA secerdas Ava tersesat di jalanan Jakarta. Dimana dia sudah tinggal di daerah itu cukup lama. Itu nyata atau hanya lelucon saja?

"Hem," Ava mengangguk, "Gue nggak tau ini di mana."

Mendadak kepercayaan diri Ava terasa jatuh. Tapi tak urung dia lega juga Dylan ada di sini. Setidaknya Ava tidak akan diculik oleh gerombolan remaja di belakang sana.

"Yaudah, rumah lo di mana?" tanya Dylan akhirnya.

Ava menyebutkan kompleks perumahannya. Sebenarnya tempat itu termasuk terkenal, karena kebanyakan penghuninya adalah orang-orang terkenal—termasuk selebriti dan pejabat.

"Jauh banget Va! Kok bisa-bisanya sampai sini?"

Ava menggaruk rambutnya salah tingkah, "Panjang ceritanya," lalu dia berdehem, "Lo? Kok bisa ada di sini juga?"

"Rumah peninggalan orangtua gue di sekitar sini. Gue... berniat mampir sebentar."

Ava mengangguk tanpa bertanya. Dia tau bahwa Dylan menyewa sebuah rumah kontrakan di dekat SMA Mahardika. Yang dia tak tau, kenapa cowok itu memilih sekolah di tempat yang katanya jauh banget dari sekitar sini. Padahal banyak sekolah lain yang tak kalah dengan SMA Mahardika yang jaraknya lebih dekat dengan tempat ini.

"Ayo gue anterin pulang," kata Dylan akhirnya.

Ava cepat menggeleng, "Nggak! Nggak perlu!" sadar suaranya terlalu bersemangat, Ava merendahkannya, "Lo bilang rumah gue jauh banget. Nanti malah ngerepotin. Jadi gini aja, boleh nggak gue pinjem hp lo buat nelpon seseorang? Hp gue mati sejak di sekolah tadi."

"Sebenarnya nggak ngerepotin sih, tapi kalau lo maunya gitu," Dylan mengeluarkan ponselnya, "Nih, lo boleh pinjem hp gue."

"Makasih, Lan."

"Sama-sama."

Siapa yang harus Ava telepon sekarang? Mamanya? Jangan lah, sepertinya nanti saja di rumah Ava menjelaskan. Karena menelpon Raisa saat ini pasti tidak akan selesai sampai beberapa menit ke depan. Mungkin Ava akan meminta Rudi menjemput.

Baru saja menekan nomor Rommy untuk meminta bantuan Rudi—Ava tidak hapal nomor Rudi—sebuah motor tiba-tiba merapat dari arah yang sama dengan Dylan.

Pemilik motor BMW HP4 Race itu melepas helmnya dan turun dari motor. Azlan. Ekspresinya terlihat campur aduk. Marah kah? Kesal kah? Ava tidak salah lihat kan kalau dia juga khawatir?

"Ngapain di sini?" tanya Azlan dingin menahan amarah. Dia melirik Dylan sekilas kemudian kembali menatap Ava.

Berbeda dengan saat kedatangan Dylan, melihat Azlan mencarinya tiba-tiba membangkitkan sisi melankolisnya. Ava jadi ingin menangis saja karena ternyata... cowok itu masih peduli.

"Pikiran lo di mana sih?! Apa susahnya kabarin orang rumah kalau memang ada urusan? Hp lo nggak berguna? Terus–"

"Gue kesasar dan hp gue mati!" potong Ava dengan setetes air mata jatuh di pipinya. Tunggu, Ava benar-benar menangis?

Ava menutup matanya menenangkan diri. Gadis itu membukanya lagi dan menatap Dylan dengan senyum tipis yang terlihat menyedihkan. Tangannya mengembalikan ponsel Dylan, sedang bibirnya mengucap, "Makasih hp nya Lan, udah ada Azlan. Lo bisa pulang. Sekali lagi makasih ya."

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang