Part 27

1.2K 102 2
                                    

Hai, Sunday balik lagi (sambil tutupan bantal takut ditimpuk rame-rame sama readers, eh, taunya readers ilang semua. Oke garing). Sunday harap masih ada yang menyimpan cerita ini di perpustakaan.

Nggak perlu lama-lama, selamat membaca! Eh, kalau lupa monggo balik ke part sebelumnya:))

🍯🍯🍯

"Jadi kapan gipsnya bisa dilepas?" tanya Azlan pada dokter yang menanganinya. Dia selalu kesusahan karena gips itu, ya walaupun sebenarnya senang juga karena bisa menyusahkan Ava—dekat dengan gadis itu lebih tepatnya. Tapi itu terjadi sampai kemarin, hari ini dia ingin cepat-cepat sembuh agar dapat melakukan semuanya sendirian.

Azlan tak ingin lagi bergantung pada Ava. Azlan tak ingin melakukan semuanya dengan bantuan Ava. Azlan tak ingin dekat-dekat dengan Ava. Karena kalau tidak, dia mungkin akan kesulitan menjauh.

"Sekitar tiga minggu lagi," balas Rajendra, salah satu dokter orthopedi terbaik di Rumah Sakit milik Eithar Group. Lelaki berusia 30an itu menoleh pada Azlan—yang duduk di kursi kerjanya—setelah sebelumnya berkutat dengan hasil CT scan Azlan, tampak menyadari sesuatu "Lo udah tanya itu tadi malam."

Azlan mengidikkan bahu, "Tadi malam kan belum lo periksa," balasnya membuat Rajendra geleng-geleng. Hingga tak lama kemudian Azlan bertanya lagi, "Nggak bisa dilepas sekarang, Mas? Gue kesusahan."

Rajendra hanya diam dan melempar tatapan malas pada Azlan.

Rajendra adalah Kakak sepupu Azlan. Anak sulung dari Gita, Kakak kandung Rere. Lelaki keturunan Jawa Timur dari sang Ayah itu lebih suka dipanggil 'Mas' ketimbang 'Bang'. Saat ditanya kenapa, dia hanya menjawab: biar kerasa jawanya.

"Lepas aja," kata Rajendra akhinya. Dia memilih kembali fokus pada kegiatan sebelumnya.

Azlan menegakkan punggung, "Serius?!" tanyanya terkejut.

"Tapi gue nggak mau tanggung jawab kalau ada apa-apa," lanjut Rajendra tanpa menatap Azlan, membuat Azlan berdecak kesal dan kembali menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerja Rajendra.

"Mana ada dokter kayak gitu? Gue pecat dari rumah sakit ini mau lo?" balas Azlan tentu saja tak serius. Lagian punya hak apa dia memecat Rajendra? Dia hanyalah anak pemilik rumah sakit.

"Pecat aja. Malah enak nganggur di rumah. Duit dari hasil 'jaga lilin' udah banyak juga," lalu Rajendra menoleh pada Azlan lagi, "Bener juga ya, kenapa gue harus kerja ketika duit gue udah ngalir sendiri. Besok suruh Om Bagas pecat gue."

"Seriusan lo dokter, Mas?"

Rajendra terkekeh. Meletakkan hasil CT scan di atas meja dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Azlan, "Bukan. Gue salah satu tenaga kesehatan."

"Anjir. Udah lah! Gue mau langsung pergi."

Seusai mengatakan itu, Azlan berdiri dari kursi kerja Rajendra yang sejak tadi dia duduki. Meninggalkan Rajendra yang menatapnya dengan pandangan geli, "Nggak ada yang nyuruh lo tinggal juga."

Setelah datang tanpa memedulikan jadwal check-up dan bahkan tanpa pemberitahuan lebih dulu—padahal Rajendra bukan tipe dokter dengan waktu luang yang banyak—lalu memaksa dilakukan pemeriksaan CT scan, sekarang pergi begitu saja?

Yah, siapa juga yang akan menolak perintah anak pemilik rumah sakit ini?

Rajendra menghela napas panjang, tapi tak lama dia kembali menoleh ke arah pintu ruangannya, tempat dimana Azlan menghilang. "Sekarang hari selasa, kan? Dia nggak sekolah?" tanyanya baru sadar.

***

Ava baru akan menunggu bus untuk pulang ketika sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Mobil yang sama dengan yang menjemput Ava pagi tadi. Dan benar saja, tak lama Pak Raden turun dari mobil tersebut dan membukakan pintu bagian penumpang untuk Ava.

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang