Part 15

1.5K 120 0
                                    

Malam ini bintang tak menampakkan dirinya di langit. Angin malam bertiup perlahan menghantarkan hawa dingin menusuk tulang. Lampu kamar itu mati, seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Karena kenyataannya memang demikian, pemiliknya kini tengah duduk di gazebo belakang rumah sembari menyesap sekaleng bir di tangan kanannya. Azlan Zaydan Eithar.

Sudah seminggu ini ponselnya berhenti bersuara, sejak dia mengganti nomornya untuk menghindari gadis-gadis di sekolah. Belum ada yang tau nomor barunya kecuali keluarganya. Bahkan teman-temannya.

Teman?

Apakah dia masih punya teman? Setelah apa yang dia lakukan waktu itu? Sialan. Memangnya hanya dia yang bersalah di sini? Semua pihak salah! Kenapa seakan semua kesalahan dibebankan padanya? Kenapa mereka semua marah padanya?

Reynald, cowok itu bersalah karena mengundang Ava ke kelab malam, padahal Azlan sudah jelas-jelas mengatakan 'Nggak usah. Jangan.' bagian mana dari kalimat itu yang bermakna lain? Rudi dan Reksa, mereka tau tapi mereka diam, itu juga salah! Kalau memang peduli, kenapa membiarkan gadis polos seperti Ava datang ke tempat seperti itu? Lalu Ava, gadis itu bersalah karena mau-maunya menginjakkan kakinya di tempat hiburan malam.

See? Semuanya salah.

Azlan beranjak dari gazebo dan melempar kaleng bir kosong di tangannya ke tempat sampah. Cowok itu berhenti dan mendongak menatap balkon kamar Ava sejenak. Cepat-cepat Azlan mengalihkan pandangan ketika dadanya kembali terasa sesak. Entah apa yang terjadi, seminggu ini dia merasakannya tiap mengingat Ava. Tepatnya sejak kejadian di rooftop sekolah seminggu yang lalu.

Perasaan sesak itu menyakitkannya. Tapi Azlan tidak bisa tidak melihat Ava. Mungkin gadis itu tidak menyadari—karena dia juga tengah marah—tapi sejujurnya Azlan selalu memperhatikan Ava tiap ada kesempatan. Bagaimana ya? Rasanya aneh gadis itu tidak berada dalam jangkauannya. Mungkin karena dia tidak bisa bersikap kasar pada gadis itu? Sedangkan selama dua tahun ini, tiada hari tanpa bertemu Ava—seperti dulu.

Sepertinya Azlan sudah gila saat berharap gadis itu menonton pertandingannya besok dan menyudahi perang dingin di antara mereka—kalau memang bisa disebut perang dingin. Paling tidak kalau Azlan masuk final, dia ingin gadis itu ada di sana. Tidak tau kenapa.

Ah, Azlan jadi bersikap aneh sejak seminggu yang lalu. Mengejutkan juga dia bisa memiliki perasaan semacam ini pada Ava. Padahal seingatnya, dia membenci gadis itu.

Baru saja Azlan melangkahkan kakinya lagi seorang pelayan menghampirinya.

"Tuan muda Azlan, ada tamu," ucap pelayan itu memberi informasi. Kepalanya selalu setia tertunduk sopan.

"Siapa?"

***

Dari pinggir rooftop tempatnya berdiri saat ini, Ava bisa menatap sekelompok karateka yang tengah bersiap naik bus milik SMA Mahardika, bus yang hanya digunakan untuk keperluan sekolah. Kelompok itu terlihat kecil memang, tapi Ava masih bisa mengenali sosok berjaket biru tua khas karateka SMA Mahardika yang kini tengah berjongkok memasukkan sesuatu ke dalam tas lalu memasukkan beberapa tas perlengkapan ke dalam bus dibantu dua orang tim official.

"Ini yang menjauh gue atau Azlan sih Rom? Kok gue nyesel jarang lihat dia akhir-akhir ini?" tanya Ava pada Rommy yang berdiri dengan posisi sama sepertinya. Bersandar siku di pagar rooftop.

Terakhir kali lihat di gang waktu itu, habis itu kayak hilang ditelan bumi, bahkan nggak pernah kelihatan ada di rumah, batin Ava melanjutkan.

Rommy menoleh tapi tidak menjawab pertanyaan Ava.

"Gue kira gue nggak terlalu peduli sama dia. Tapi giliran hubungan makin jauh gini, gue jadi bingung sendiri," gumam Ava.

"Bukan bingung, lo pasti resah. Gimana kalau Azlan malah makin nggak peduli? Gimana kalau dia malah makin jauh? Pertanyaan kayak gitu kan?" tebak Rommy. Kembali menatap ke bawah sana. Kali ini Azlan akhirnya masuk ke dalam bus, menghilang dari pandangan Ava dan Rommy.

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang