Part 08

1.5K 141 1
                                    

"Kamu darimana aja Bee? Kenapa nggak telepon Mama?!" Raisa yang panik langsung memeluk Ava erat. Sedangkan Ava hanya membalas pelukan sang Mama dengan senyum penuh rasa bersalah.

"Maafin Bee Ma, tadi hp Bee mati," balas Ava kemudian.

Raisa menguraikan pelukan dan menatap Ava lega, "Yaudah, yang penting sekarang kamu cepat mandi habis itu turun buat makan malam."

Ava mengangguk. Dia beralih menatap Azlan yang hanya berdiri di teras.

"Kalau gitu Azlan pulang dulu, Tante," kata Azlan sopan. Meski tak ada senyum di wajah tampannya.

"Tapi masih hujan," balas Raisa.

"Nggak masalah Tan, udah terlanjur basah juga. Rumah Azlan kan di sebelah doang."

"Nggak! Nggak! Kamu mandi di sini aja. Pakai kamar mandi yang di bawah. Biar Tante suruh pelayan anterin baju kamu. Nanti kita makan malam sama-sama. Luka di wajah kamu juga harus diobatin, Lan."

"Tapi, Tan–"

"Kamu udah kayak anak Tante sendiri Lan, tinggal tunggu waktu aja kamu bakalan bener-bener panggil Tante dengan sebutan Mama. Mana bisa Tante lihat muka kamu bonyok kayak gini? Di rumah kamu memang banyak pelayan, tapi Tante tau pasti kamu bakalan nolak diobatin sama mereka."

Azlan baru saja membuka mulut lagi ketika suara Ava memotongnya.

"Nurut aja. Daripada makin sakit," kata Ava tanpa menatap Azlan.

Tak tau apa yang Azlan pikirkan, tapi dia mengembuskan napas panjang dan akhirnya menurut saja. Mengikuti Ava dan Raisa yang masuk ke dalam rumah.

***

Azlan sudah duduk manis di sofa saat Ava datang membawa kompres es batu dan salep antiseptik untuk luka di wajahnya.

Makan malam sudah berakhir sejak satu jam yang lalu, Raisa pun sudah sibuk menonton sinetron di ruang keluarga. Kini saatnya mengobati luka Azlan.

"Bisa ngobatin diri sendiri kan?" tanya Ava.

Azlan tak menjawab tapi tangannya mengambil alih segala peralatan di tangan Ava. Ekspresinya masih sama datarnya seperti yang sudah-sudah.

Cukup lama Azlan berkutat dengan salep di tangannya. Berusaha mengobati wajahnya sendiri. Tapi sepertinya memang susah, karena luka itu ada di wajahnya. Mungkin dia memerlukan cermin.

Ava gemas dan ikut ngilu sendiri saat beberapa kali Azlan meringis karena terlalu keras menekan lukanya, dia mengambil alih salep di tangan Azlan dan mendudukkan diri di sofa yang sama. Perlahan Ava mulai mengoleskan salep antiseptik di sudut bibir, pelipis, dan dekat ekor mata Azlan dengan rapi.

"Gue nggak tau kalau lo kenal sama Dylan," gumam Ava di sela kegiatannya. Tangganya beralih mengambil es batu yang terbungkus handuk di dalam baskom dan melarikannya pada beberapa memar di wajah Azlan.

Azlan tak menjawab. Dia malah fokus menatap wajah Ava. Alisnya, matanya, hidungnya, pipinya yang bersemu—entah karena apa—dan bibirnya. Komposisi wajah Ava masih terekam kuat di ingatannya. Tapi ini adalah kali pertama Azlan menatap Ava sedekat ini. Kulit Ava memang semulus itu, pori-porinya bahkan tidak terlihat. Yang paling menarik perhatian Azlan adalah bibirnya. Azlan ingin tau, bagaimana jadinya kalau dia mengecup bibir tipis itu.

"Lo kenapa sih berantem sama Dylan?" tanya Ava lirih. kini dia menatap mata Azlan yang juga beralih menatapnya. Mereka saling tatap selama dua detik lalu Ava memutuskan pandangan.

Azlan masih tidak menyahuti. Mengetahui Ava tak lagi menatap matanya, dia kembali mengalihkan tatapan ke bibir tipis itu. Sebenarnya biasa saja, sebagaimana bibir tipis lainnya. Warnanya yang pink juga biasa saja, ada banyak gadis yang memiliki warna bibir alami seperti itu. Tapi matanya tidak bisa lepas dari bibir itu. Dan seakan kurang dekat, tanpa sadar Azlan mulai mengikis jarak wajah mereka.

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang