Part 10

1.6K 132 3
                                    

Azlan menghentikan motornya tepat di depan teras rumahnya. Melemparkan kunci motor yang ditangkap sigap oleh salah seorang pria berseragam hitam yang bertugas menjaga gerbang rumahnya—bergantian dengan satu orang yang lainnya.

Enam orang pelayan berseragam hitam putih menyambut Azlan di depan pintu dengan kepala ditundukkan. Jelas tak ada yang berani menatap langsung ke arah Azlan, karena hal itu bisa dikatakan sebagai kelancangan.

"Makan malam sudah siap, Tuan muda," kata seorang kepala pelayan berumur akhir 30-an dengan sopan. Azlan hanya mengangguk saja sebagai balasan.

Kekakuan seperti ini adalah hal biasa bagi penyandang nama Eithar. Sejak kecil memang begitulah sikap para pelayan. Ada dinding tinggi yang membuat seorang pelayan dan majikannya tidak bisa berbicara bebas. Ada etika yang harus dijunjung tinggi oleh mereka. Azlan juga tidak merasa keberatan untuk dihormati begitu, walaupun mereka jelas lebih tua darinya.

Melanjutkan langkah lagi, Azlan naik ke lantai dua. Dia butuh mandi saat ini. Barusan Azlan kembali ke warung makan tempat dia meninggalkan Ava sendirian. Gadis itu sudah tak ada di sana. Saat perjalanan pulang Azlan juga sempat melihat Ava keluar dari minimarket di depan gang. Artinya gadis itu tak lagi tersesat.

Cih! Tersesat? Azlan selalu saja ingin tertawa mengingat hal itu. Menertawai kebodohan Ava, dan menertawai sikapnya sendiri. Apa-apaan! Bagaimana mungkin dia masih begitu peduli? Azlan bahkan tak sadar. Lalu kejadian di sofa rumah Ava kemarin—kalian tau kejadian apa yang Azlan pikirkan saat ini—bagaimana mungkin dia berpikiran untuk mencium Ava? Selama kurang lebih dua tahun ini, tak pernah muncul pikiran seperti itu di kepalanya untuk Ava, lalu kenapa mendadak dia jadi menginginkan ava? Ah, sepertinya Azlan hanya terlalu merindukan gadis-gadis di sekitarnya. Iya kan? Sudah beberapa hari ini dia tidak bersama gadis manapun di sekolah, terakhir kali sejak... Ava melempar kepalanya menggunakan botol.

Drrtt! Drrrtt!!

Azlan menoleh ke arah ponselnya yang dia letakkan di atas nakas. Layarnya menyala dengan beberapa pop-up pesan yang muncul.

Berdecak, Azlan melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Sepertinya dia harus mengganti nomor baru, entah bagaimana caranya nomor pribadinya bisa tersebar luas akhir-akhir ini. Padahal dia tak pernah memberikan nomor pribadinya pada siapapun kecuali teman-temannya. Bahkan, Azlan tidak masuk grup kelas. Ya mau bagaimana lagi? Dia tak suka diganggu. Benar-benar tak suka jika notifikasi chat di ponselnya penuh dengan hal yang membosankan.

Mantan-mantannya? Tidak, Azlan juga tak pernah memberikan nomor pribadinya pada mereka. Karena dalam beberapa jam Azlan tak lagi peduli pada gadis-gadis itu.

Itulah kenapa sebutan 'pacar satu hari' yang dibuat Ava muncul. Karena siklusnya begini, Azlan tertarik, mereka dekat—atau bahkan pacaran—lalu menjadi asing dalam beberapa jam. Azlan tidak pernah mau menoleh untuk yang kedua kalinya.

Kalau Ava... hem, Azlan tidak yakin dia tertarik pada gadis itu. Dulu mungkin iya, tapi sekarang tidak lagi.

Azlan jadi teringat kejadian beberapa jam lalu. Yang mana dia memilih mengantarkan gadis lain dibandingkan Ava yang notabenenya adalah tanggung jawabnya. Terserah kalau ada yang mengatakan dia berengsek, karena itu kenyataan. Dia hanya merasa agak kesal pada Ava. Tapi sepertinya gadis itu bahkan tidak peka. Dan lagi, sok berbohong sudah menelpon temannya?

Cih! Dia pikir Azlan bodoh? Menurut kalian kenapa Azlan malah menyebutkan nama Sagara bukannya Rudi ataupun Dylan? Ya karena cowok itu yang tak mungkin dihubungi Ava saat sedang butuh—sedangkan dua lainnya ada kemungkinan. Sebenarnya ada banyak nama, tapi kebetulan dia hanya sedang kesal pada Sagara. Dan bodohnya gadis itu membenarkan pertanyaannya yang membuatnya semakin yakin bahwa gadis itu berbohong.

Kalau Jadi Jodoh (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang