-29- Hujan dan Kerinduan

5.8K 1K 65
                                    


Cring...

Lonceng kecil berbunyi ketika aku membuka pintu.

Mataku berkeliling. Dia pintar juga memilih tempat. Jika kami bertemu secara lebih privat itu bisa memicu rumor dan merugikan kami. Tidak banyak orang di cafe ini, jadi lebih mudah mengetahui jika ada yang mencurigakan. Dan lebih mudah juga menemukannya yang sedang menepuk rambut madunya. 

Yah, meskipun banyak orang juga kuyakin tidak akan sulit mencarinya dengan wajah seperti itu.

Sepertinya dia mendengar lonceng itu karena selanjutnya dia mendongak dan bertemu dengan mataku. Senyumnya mulus mengembang dan tangannya melambai padaku.

"Maaf membuatmu menunggu," kataku begitu tiba di dekatnya.

Alejandro berdiri untuk menarikkan kursiku. "Aku tidak menunggu selama itu. Untungnya kamu tidak menyimpan budaya ngaret kita."

Aku tertawa mendengar kalimatnya. Aku merasa ringan seketika. Seperti bertemu teman lama.

Alejandro masih tersenyum sempurna. Kedua sikunya di atas meja. "Nah. Kau lebih cantik kalau tertawa begitu. Jangan galak-galak seperti pertama kali kita bertemu."

Tawaku segera berhenti. "Pertama, jangan menganggapku sama seperti gadis-gadis yang mengerumunimu," Alejandro mengangkat sebelah alisnya. "Kedua, kalau buaya mending aku pergi aja."

Tawa Alejandro meledak seketika.  "Maaf maaf," dia masih berusaha mengendalikan tawanya. "Aku kebiasaan menjadi Alejandro."

Aku memutar bola mataku. "Bilang aja buaya."

"Hei aku ini setia tahu! Aku hanya melakukannya karena karakter Alejandro." Dia membela diri.

Aku mencibir. "Hanya karena kau berada di tubuhnya bukan berarti kau harus menjadi dia."

Aku sedikit kaget melihat dia yang kaget. "Jangan bilang..."

"Apa?"

"Pantas saja semua orang bilang kau berubah. Kau bahkan kabur dari Pangeran Junda."

Moodku semakin hancur ketika Ale menyebut nama itu. Dan sepertinya dia menyadarinya.

"Wah, apa ini? Kau setidak suka itu padanya? Kukira kalian baikan."

"Cih! Baikan apanya." Dia hanya bersikap baik karena aku teman Inara. 

Entah bagaimana kesimpulan itu bertahan di otakku setelah membaca surat dari Inara. Kukira berteman dengan Inara akan membuatnya mundur tapi ternyata dia justru menggunakannya sebagai kesempatan.

Aku merasa malu dengan diriku sendiri yang mengira dia mengkhawatirkanku.

Hahh... Aku memang berharap Junda tidak membiarkanku menjadi 'yang buruk' sendirian. Tapi begitu mengetahui kebenarannya rasanya juga tidak lebih baik.

Ugh! Memang tidak ada yang benar jika itu menyangkut tentang Junda.

"Rhea,"

Degh

Rasa sebal yang kurasakan segera berganti. Dadaku bergemuruh dengan kerinduan yang tumbuh seketika.

Namaku. Seseorang memanggil namaku di dunia ini.

Itu terdengar hangat dan menyenangkan.

Sepertinya Ale kembali menyadari perubahanku. Dia menghentikan kalimatnya dan tersenyum lembut sekarang.

"Panggil namaku, Rhea."

Aku memandangnya sejenak. "Rayan."
Aneh. Bahkan memanggil namanya yang baru pertama kali kudengar ini juga terasa seperti kerinduan. "Narayan."

Cupid For The Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang