-39- Jalan Pulang

3.9K 620 63
                                    

Aku menggigit kukuku cemas.

Kakiku tidak bisa berhenti melangkah dengan jalur yang sama, menunggu pintu terbuka atau suara seseorang dari luar.

Tok tok...

"Nona, Lord Alejandro--"

Suara Tuan Zerdi terpotong ketika aku dengan cepat membuka pintu. 

"Terima kasih, Tuan Zerdi, Anda boleh pergi,"

Pria itu segera beringsut dengan wajah kebingungan. Tentu saja, wajahku pasti sama tegangnya dengan wajah Alejandro sekarang.

Tanpa menunggu kupersilakan, orang yang diantar Tuan Zerdi itu masuk ke ruanganku. Tapi aku tidak mempermasalahkannya karena aku sangat paham dengan kegundahannya.

Aku menutup pintu setelah memastikan ruangan sekitarku aman. 

Begitu aku berbalik, kedua lenganku ditangkap oleh Rayan. Dia merendahkan wajahnya, "Apa maksud suratmu, Rhea?"

Aku bisa merasakan tangannya sedikit bergetar. Sebenarnya seberapa banyak dia ingin pulang?

"Aku... bicara dengan Anezka." 

Cengkeramannya di lenganku terasa menguat. Aku menghela napas sebelum mengambil dua telapaknya agar melepaskanku. "Duduk dulu, Rayan."

Untungnya dia mau mengikuti saranku. Aku menyuguhkan teh yang sudah kusiapkan sebelumnya agar dia sedikit lebih tenang. Meskipun aku sedang sama berjuangnya untuk bisa tenang.

"Ini tidak berguna, Rhea. Tidak bisakah kamu langsung jelaskan saja?"

Aku menghela napas. Dia benar-benar ingin tahu. Bagaimana kami bisa tiba di sini. Dan mungkin kalau beruntung, jawaban dari 'bagaimana cara kembali'.

"Kali ini, yang kulihat dalam tidurku bukan lagi kilasan Anezka. Itu Anezka." Aku membuka penjelasanku. Mengingat kembali apa yang kulihat sepulang dari kediaman Aillard.

"Halo, Rhea."

Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendengar namaku keluar dari bibirnya dengan nada yang tajam. Meski aku tidak tahu seperti apa entitasku, aku yakin mataku terbelalak.

Wajah yang setiap hari kulihat di cermin itu tersenyum dengan cara yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Senyum yang membuat tengkukku tidak nyaman.

"Bagaimana rasanya hidup sebagai putri? Kau menikmatinya?"

Suaraku masih belum bisa keluar. 

"Kau harusnya bisa menikmatinya." Dia menjawab pertanyaannya sendiri ketika aku tidak kunjung bersuara. "Karena kau bukan aku," tambahnya dengan nada pahit yang sempat tertangkap radarku.

"Anezka..." aku akhirnya bisa bersuara meskipun lemah. "Apa yang terjadi sebenarnya?" aku tidak ingin menyiakan kesempatan ini.

"Sepertinya kau masih belum menemukannya," aku mendengarnya bergumam lirih. Dia tersenyum lagi dengan cara yang sama. "Anyway, aku di sini karena kau memiliki apa yang kuinginkan. Dan kau di sana karena aku memiliki apa yang kau inginkan. Harapan kita bertemu. Bukankah ini win-win solution?"

Aku kaget. Aku memiliki apa yang dia inginkan? Bukankah dia hanya menginginkan Junda dalam hidupnya? Tapi Junda ada di sini, jadi kenapa dia justru ingin pergi dari sini? 

Dan... apa yang kuinginkan?

"Apa maksudnya itu? Kenapa kau baru muncul sekarang?"

Dengan pertanyaanku, senyumnya luntur dan kebingungan sedikit tergambar di wajahnya. "Bukankah kau memanggilku?"

Aku memanggilnya? Aku tidak--
Ingatanku tiba-tiba beralih pada rasa sakit di jantungku sebelumnya. Terutama karena aku melihat Anezka memegang bagian yang sama.

Cupid For The Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang