-22- Es Krim yang Mencair (2)

7.1K 1.1K 119
                                    

"Mendekatlah."

Aku melangkah mendekat satu jengkal tapi Lovist tetap menghela napas.

"Bagaimana kita akan berdansa dengan jarak sejauh ini?"

Lovist berdiri tujuh kaki di depanku. Dansa adalah basic skill yang penting untuk para bangsawan bersosial. Tentu saja dia tidak menganggap ini sesuatu yang penting dan spesial.

Tapi bagaimana aku yang berasal dari era yang berbeda ini berpikir yang sama?! Aku tidak bersosial dengan berdansa, atau saling memegang tangan dan saling berhadapan kurang dari batas jarak personal space-ku selama bermenit-menit.

"Kecuali tanganku terbuat dari karet aku tidak bisa menjangkaumu, Lady Anezka."

Aku mendengus dan tertawa pelan. Dia bahkan bercanda sekarang. Itu cukup menguapkan gugupku. Aku memberanikan diri melangkah maju hingga berdiri di depannya.

"Eeh... sekarang kau terlalu dekat."

Puff! Wajahku meledak merah karena malu dan kakiku segera melangkah mundur lagi.

"A-aku tadi hanya memeriksa!" aku meracau membela diri.

"Memeriksa apa?"

"Emm... Bulu hidungmu" benar-benar meracau.

"Hah?" sial aku bicara apa sih– "AHahahaha" Lovist tertawa hingga menutupi mulutnya.

Aku agak takjub. Bukan seperti aku belum pernah melihatnya, tapi aku masih tidak menyangka Lovist bisa tertawa seperti itu.

Tawanya menular dan bibirku sudah tersenyum. "Anda lebih sering tertawa sekarang"

"Dan salah siapa itu?" dia menjawab di sela tawanya yang mulai mereda.

"Hei, itu bukan kesalahan!"
Kalau bisa, aku ingin menyeretnya kembali ke asalku dan mengajaknya, bermain tiktok. Ey yo I look really intimidating until I smile cheeck...

Tunggu, tapi "Kenapa Anda tidak melakukannya ketika kita di Rumah Dessert Elena?!"

Aku senang bisa membuat kesempatan untuk Lovist dan Inara lagi. Mereka terlihat lebih dekat daripada sebelumnya. Mungkin karena mereka beberapa kali bertemu lagi sejak terakhir aku melihat mereka bersama.

Tapi kalau tahu Lovist bisa tertawa seperti ini, agak mengecewakan karena dia hanya tersenyum saat itu. Itupun tidak terlalu sering. Yah, masih lebih baik daripada sikap dinginnya pada orang lain sih.

"Berhenti membahas yang lain" Lovist tidak menanggapi pertanyaanku. "Diam di situ" perintahnya kemudian melangkah mendekat.

Setelah mencapai jarak yang pas, dia kemudian membungkuk dengan sopan. Ketika dia tegak kembali aku bisa melihat senyumnya sudah terpasang di wajahnya.

"Kau tidak membalasnya?"

"A-ah.. Iya." Aku mengangkat sedikit gaunku dan membungkuk sambil melafalkan mantra dalam hati. Jangan kikuk. Jangan kikuk.

"Tidak perlu kaku," Yaah, mantraku tidak bekerja. "Bayangkan kau adalah gadis tercantik di dunia dan sedang bertemu dengan pria tertampan di dunia–"

"Pfftt..." ganti aku yang tertawa.

"Aku serius"

"Baik, baik, pria tertampan di dunia~" aku masih berusaha meredakan tawaku.

Lovist mendengus dan memutar matanya tapi sekilas aku melihat ujung bibirnya terangkat.

Tapi tips darinya bagus juga. Aku tersenyum, mulai mendapatkan kepercayaan diriku.

Lovist menyodorkan tangan kirinya. Wajahnya tersenyum dan memandangku seolah memintaku menyambutnya. Aku tersenyum dengan cara yang sama dan meletakkan tangan kananku di tangannya. Tangan kiriku kuletakkan di lengan kanannya yang terangkat menahan lenganku.

Cupid For The Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang