"Hhh..."
Junda menghela napas setelah mengeluarkan isi perutnya, lagi. Dan aku di belakangnya, memijit bahunya, lagi.
Aku diam, merasa bersalah karena mengaduk isi perutnya lagi. Untungnya dia tidak mengatakan apapun.
"Kukira kau tidak akan mau ke sini lagi" kata Junda setelah tenang.
Aku tidak menjawabnya. Sejujurnya, ya. Aku jadi sedikit teringat dengan para preman dan kejadian itu.
Tapi aku tidak tahu cara lain selain ini. Bahkan aku tidak yakin apakah ini akan berhasil. Setidaknya harus dicoba.
Setelah beberapa saat Junda mendongak padaku dan bersuara lagi, "Kenapa kau tidak menjadikan Lady Inara sebagai lady in waitingmu saja?"
Mendengar itu, aku menatapnya curiga. Sepertinya benar. Aku tidak yakin Junda melakukan semua itu murni karena permintaan Marquiss Lazulli. Pasti dia juga mau.
Dengan tatapanku, dahi Junda berkerut. "Apa?"
"Dan kau masih sok-sokan polos."
Dahi Junda makin berkerut. "Apa sih?" Tapi kemudian kerutannya hilang ketika dia seperti menyadari sesuatu. "Jangan-jangan, kau takut Lady Inara akan bertemu dengan Lord Lovist di sana?" Dia ganti menatapku curiga.
Aku melongo. "What the..." Cowok ini bego apa gimana sih? Dia masih menganggap serius omong kosongku waktu itu? "Kau seingin itu Lady Inara berada di istana?" tembakku.
Tapi dia malah menghela napas, membuatku mengernyit. "Bukan begitu. Aku hanya... ingin menebus rasa bersalahku," ujarnya lirih.
Rasa bersalah? Salah apa dia pada Inara?
Tapi yang kulihat setelahnya adalah mata Junda yang membulat padaku. "Masa..."
Aku menaikkan sebelah alisku. Apa?
"Kau takut dia bertemu denganku?"
Pletakk!
"AW!" Dia memegangi puncak kepalanya.
Tuhan, apakah keputusan yang salah mengajaknya berdamai?
"Hey!" tatapan sebal Junda kembali. "Berdamai bukan berarti kau bisa berbuat semaunya! Bersikap dan berkatalah lebih sopan! Ayo, ikuti. Maafkan saya, Yang Mulia-"
"Bawel!" Aku bangkit dan mulai berjalan menuju pasar.
Bukan karena ini Inara. Memiliki lady-in-waiting berarti memerintah dan meng-atasi bangsawan lain.
Di sini, bukan hanya anggota royal yang berhak memiliki lady-in-waiting, tapi juga wanita bangsawan tinggi lain. Semakin tinggi bangsawan itu maka dia berpeluang untuk memiliki lady-in-waiting lebih banyak.
Aku memang tidak suka konsep lady-in-waiting yang sering digunakan untuk menunjukkan status dan kasta. "Aku tidak akan mengambil lady-in-waiting."
Mata Junda membulat. "Apa?"
"Aku sudah punya tiga maid pribadi. Aku tidak memerlukan yang lain."
"Ketika wanita bangsawan lain berlomba-lomba memiliki lady-in-waiting lebih banyak, ada apa denganmu?"
"Vera adalah putri seorang baron" yah meskipun hanya baron dalam nama, "jadi dia bisa dihitung lady-in-waiting kalau mau. Lagi pula aku tidak sesibuk itu, dan tidak 'setidak berfungsi' itu sampai memerlukan banyak orang untuk hidup."
Junda tertawa dengan perkataanku. "Baiklah, kalau begitu mana orang yang kau bicarakan? Kau yakin rencanamu ini akan berhasil?"
Aku menyeringai. Sebenarnya, rencana ini tidak murni tanpa melibatkan Lazulli. Aku hanya mencoba memancingnya, membuatnya datang pada kami dan bukannya kami yang mengejar. Tarik ulur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cupid For The Second Lead
General Fiction(Bukan Novel Terjemahan ya) Judul lain : The Villainess' Playing Cupid Aku bertemu dengan idolaku! Ini mungkin terdengar sedikit gila tapi dia adalah karakter dalam novel. Yak, karena entah bagaimana aku "berada dalam novel". Tapi kenapa aku malah...