-37- Persiapan Perang 2

3.5K 624 35
                                    

'Jadi kau mau membantu kami?'

Aku menyuarakan pertanyaanku dalam pikiranku, sementara tanganku menopang sisi kepalaku di atas jendela. Jemariku pelan menekan belakang telingaku, memastikan pesanku diterima orang yang ada di sana.

Biar kujelaskan dulu. Aku tidak paham bagaimana perjanjian elf bekerja, atau apa saja hasilnya. Tapi sejak Navkha berjanji untuk melindungiku, Navkha bisa merasakan ketika aku berada dalam bahaya. 

Dan mungkin karena aku berjanji (salah satunya) untuk 'memperdengarkan' suaraku, well sebenarnya bernyanyi untuknya but whatever, sekarang dia benar-benar bisa mendengar suaraku meskipun dia tidak berada di dunia yang sama denganku.

Sekarang aku merasa sedikit keren karena bisa melakukan telepati yang hanya pernah kubayangkan sebelumnya. Like what the heck am I still human?

Dan karena skill baru ku ini, aku tidak berhenti mengganggu Navkha sejak semalam sampai aku tertidur di tengah percakapan kami. Dan begitu aku terbangun aku segera mengganggunya lagi ahaha.

'Yah, aku sudah berkonsultasi dengan penasehatku dan ini bukan sesuatu yang merugikan.' suara Navkha terdengar sejernih biasa di kepalaku.

Ini mengingatkanku pada telepon di duniaku. Dan rasanya menyenangkan, mengobrol dengan teman.

Asal tidak ada orang di sekitar, karena itu akan membuatku jadi seperti orang gila ketika Navkha melontarkan guyonannya.

'Aku belum mengatakannya kemarin, tapi Junda bilang akan memberikan penawaran menarik kalau kau setuju. Kalian bisa mendiskusikan itu ketika bertemu.'

'Junda? Si brengsek kemarin?'

Aku memutar mataku. 'Oh ayolah sampai kapan kalian akan seperti itu? Coba katakan, apa alasan kalian sampai saling membenci begitu.'

Yah, aku memutuskan untuk berdamai dengan Junda. Rasanya sedikit aneh melihat orang lain membencinya tanpa alasan seperti itu.

'Kau tidak butuh alasan untuk membenci sesorang.' Dia terdengar seperti mengedikkan bahu ketika mengatakannya.

Aku melongo. 'Dasar psiko. Yang benar bukan seperti itu!'

'Lalu bagaimana?' Navkha bertanya.

'Kau tidak butuh alasan untuk mencintai seseorang, tapi carilah seribu alasan lebih dulu jika ingin memberi satu kebencian.'

Aku tersenyum puas dan menaikkan daguku meskipun Navkha tidak melihatnya. 'Wah aku harusnya jadi duta perdamaian dunia.'

Navkha terdengar tertawa di seberang, membuat senyumku bertahan. 'Kalau begitu kau tidak butuh alasan untuk bisa mencintaiku.'

Aku melongo mendengarnya. 'Hey bukan itu intinya! Ada apa dengan sistem pemrosesan informasimu?!'

Tawa Navkha terdengar mereda di kepalaku. Tapi entah kenapa aku jadi merasa aneh. Ada sesuatu yang terasa janggal.

'Kalau memang,' suara Navkha terdengar lembut setelah tawanya yang renyah, 'bahkan tanpa alasan pun kau bisa mencintai seseorang, bagaimana jika kau memiliki alasan untuk itu? Dan bukan hanya satu, itu hanya... semakin bertambah seiring waktu.'

Aku merasakan massaku menguap bersama kalimatnya. Meninggalkanku terdiam dengan ringan, dan lemah.

Itu terdengar seperti mantra. Indah sekali.

Sekali lagi, Navkha membawakan dongeng untukku. Karena cerita seperti itu, tidak pernah terjadi dalam hidupku.

Ah, aku hampir lupa dengan hidupku sendiri. 

Cupid For The Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang