Banyak anak-anak merasa rumah adalah tempat ternyaman dan aman untuk mereka atau ada di antaranya telah kehilangan rasa tersebut, Tyas diantara mereka yang tak lagi merasa nyaman dan aman saat berada di rumah. Segala fasilitas di berikan orang tuanya tidak berarti apa-apa, jika orang tuanya sendiri justru menjatuhkan kepercayaan dirinya.
Merasa terkekang, mengatas namakan masa depan terbaik untuk dirinya justru Tyas rasakan, terutama Mami malah memaksa untuk menuruti semua obsesi orang tuanya agar terlihat membanggakan dengan harapan mereka tanpa peduli apa yang di inginkan Tyas. Inilah awal Tyas berani berontak tentu saja dengan cara halus. Minta baik-baik pada orang tuanya, mengajak mereka diskusi. Dia bersyukur Papi mau mengerti, tidak terbayang jika Papi pun bersikap keras seperti Mami. Mungkin banyak anak di luar sana yang tidak lagi terkontrol tingkah lakunya karena merasa di kekang karena orang tua yang lebih pentingkan obsesi dan harga diri dibandingkan keinginan sang anak.
Tidak ada yang salah dengan keinginan orang tua, mereka hanya berharap masa depan sang anak akan secerah harapan mereka. Namun, beberapa orang tua seperti Mami contohnya, lupa jika anak yang akan jalani masa depannya, anaklah yang tau kemampuannya sendiri.
Tyas sungguh tak ingin jadi pembangkang atau anak durhaka. Dia justru coba cari jalan terbaik untuk solusi dalam pilihan hidupnya. Pilihannya pun masih di batas baik meski tidak sesuai mimpi yang telah di rancang orang tuanya. Tyas hanya berharap Mami akan mengerti dan mendukungnya. Setelah hari itu, Mami justru kian mengawasi Tyas. Kepercayaan itu semakin terkikis, seperti malam ini.
Tuduhan menyakitkan membuat air mata Tyas jatuh, negatif sekali Mami memandangnya seakan Tyas tidak bisa lagi di percaya untuk jaga dirinya sendiri. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain tidak di percaya oleh seorang Ibu.
“Mami...” Tyas mendesah karena dadanya terasa sesak—Murahan—Mami dengan jelas baru melempar tombak tajam hingga menghunus tepat dadanya.
“Segitunya Mami nggak percaya aku?” bisik Tyas, kakinya terasa lemas, ia bahkan mundur beberapa langkah sampai terjatuh duduk di sofa. Menatap sang Ibu dengan pandangan memohon untuk menarik kata-katanya.
“Mami nggak lagi percaya sama anak pembangkang dan semaunya sendiri seperti kamu.” Katanya semakin menyudutkan Tyas.
“ini semua karena pilihan hidupku yang nggak sesuai mau Mami, kan?”
“Lihat aja pencapaian apa yang udah kamu raih setelah kami menuruti pilihanmu itu, yang ada kamu malah bebas di luar sana!”
“Mami, Tyas bisa jaga diri!” Mami semakin berkeras.
“Putuskan pacarmu itu, lelaki macam apa yang kamu pilih itu. Mami udah cari tahu siapa dia, orang tuanya pemilik sangar tari di Bali dan hidup lelaki itu terlalu bebas untuk kamu.”
Tyas semakin terkejut dapati sudah sejauh itu Mami cari tahu latar belakang hidup Dhito. Tidak ada yang salah dengan latar belakang orang tua Dhito, sanggar tari justru pencapaian luar biasa dan sangat berharga karena melestarikan kekayaan budaya. Tapi, Tyas lupa bahwa pencapaian untuk sebagian orang bergelimang harta seperti mami tentu saja beda pandangan.
Tyas berharap Mami tidak melupakan bahwa semua yang dimiliki di dunia ini hanya sementara, semua titipan Tuhan yang tidak akan di bawa mati.
“Mami nggak bisa menilai Dhito sebelah mata, nggak ada salahnya dengan latar belakang orang tuanya.” Bahkan, tante Danita lebih baik dari mami—bisik Tyas di dalam hati.
Mami menatap sang putri semakin tajam, tidak percaya anaknya akan membela lelaki itu.
“Memang nggak ada salahnya, tapi nggak akan pernah benar untuk keluarga ini!” Mami bicara dengan nada cukup tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
ChickLitTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...