Memeluk sekali lagi Dhito yang balas mengelus puncak kepalannya. Merasa lebih ringan karena dia tahu kini tidak perlu lagi berjuang sendirian, ada lelaki yang telah berjanji akan berjuang untuk bisa bersamanya.
Seulas senyum di berikan Dhito, pandangan lekat selalu beri sensasi gemuruh di hatinya.
"Aku benaran sudah siap sekarang juga." Katanya meyakinkan Tyas.
Tyas menggeleng kecil, "jangan malam ini, kita hanya akan mempersulit mang Danang."
Dhito memaksa untuk mengantar dan ia menolak, bukan karena tidak siap. Tyas sudah yakin mereka memang harus mulai ambil langkah menjemput restu tapi, jika malam ini juga Dhito mengantarnya, yang ada mereka hanya akan buat sopir ikut di salahkan Mami karena tidak melapor dan membiarkan Tyas bertemunya.
Mengangguk kecil, akhirnya Dhito mau ngerti dan beralih pada sopir sudah duduk di balik kemudi setelah Tyas masuk ke kursi belakang. Dhito mengucapkan terima kasih barulah membiarkan mobil melaju.
Meresapi rasa yang tak lepas di hati, tangan erat pada tali tas sambil terus berdoa—jika, lelaki ini memang jodohnya maka semua yang tidak mungkin akan menjadi mungkin—terlalu meresapi doanya, tanpa sadar air mata kembali membasahi pipi.
Tyas tidak pernah ingin harus memilih antar orang tua dan lelaki pilihannya "Tuhan, kumohon jangan biarkan aku memilih" bisiknya sangat pelan.
Orang tuanya sangat berharga meski kerap bertentangan karena pola pikir berbeda. Namun, bukan berarti Tyas ingin melukai mereka dengan cara menentang setiap perkataan. Dia hanya merasa punya kapasitas dan tahu batas kemampuannya, jika memaksa yang ada dia hanya akan mengecewakan. Walau akhirnya, tetap saja kecewa itu terlihat di mata Mami saat Tyas memilih hidup sesuai pilihan.
Menghapus air mata yang terjatuh di pipi, rasanya sapuan hangat tangan Dhito menghapusnya tadi masih terasa lalu ia berpaling, menatap lurus pada setiap kerlap lampu dilalui hingga tidak sadar mobil sudah sampai di rumah.
"Makasih mang."
"Sama-sama, non" balas sopir, lalu Tyas akan membuka pintu mobil dan tepat saat itu ponselnya berbunyi—Dhito calling.
Mengerutkan kening begitu melihat nama pacarnya menelepon.
Apa terjadi sesuatu?
Tanya hatinya langsung merasa takut terjadi sesuatu pada Dhito karena mereka baru berpisah dan lelaki itu menelepon.
"Halo, Dhito?" Tyas mengurungkan niatnya keluar, lalu mengangkat telepon dengan perasaan khawatir, tenang, sampai takut dengan pikiran berkelana kemana-mana sambil terus berdoa, tidak terjadi apa-apa pada Dhito.
"Halo, sayang gerbang rumah kamu tinggi sekali. Aku yakin kamu nggak akan bisa lihat posisi mobilku" katanya membuat Tyas semakin bingung.
"Kamu? Ngomong apa sih?"
Terdengar suara terkekeh, "aku diluar rumahmu."
"APA?!" Tanpa sadar Tyas bernada tinggi.
Tawanya malah semakin kencang, "kaget ya? Aku ngikuti kamu. Aku sudah seperti selingkuhan kamu aja, harus begini. Lucu, ya?" Guraunya.
"Dhito, aku serius!" Tyas benar-benar kesal, bukannya menjelaskan.
"Aku benaran di luar, kamu nggak percaya?"
Tin... tin... tin...
Lalu suara sebuah klakson mobil sebanyak tiga kali terdengar, "Ya ampun! kamu?"
Huh! Tyas benar-benar bisa bernapas lega mendapati pacarnya baik-baik saja sekaligus terkejut.
"Kamu dengar suara klakson mobilku yang tiga kali?" Astaga! Lelaki itu benar-benar mengikuti dan ada di depan gerbang rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
Literatura FemininaTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...