Ibu

13.8K 1.5K 8
                                    

Tyas merasakan tubuh kekasihnya menegang, dia sendiri tidak bisa menahan rasa terkejut apalagi Fanya tadi menelepon sambil menangis, menggambarkan seberapa parah Danita. Tyas pun menyampaikan pada Dhito bahwa Fanya bilang, ibunya di temukan sudah tidak sadarkan diri di kamarnya, keluarga dan asistennya sedang di perjalanan menuju rumah sakit sementara Fanya yang juga menyaksikan Danita tergeletak tidak sadarkan diri langsung panik dan menelepon Dhito, putra satu-satunya Danita.

Belum di pastikan apa penyebab sakit ibunya Dhito. 

“Aku harus pulang, malam ini juga!” Dhito menarik diri, bersiap menjalankan mobil namun segera di cegah Tyas.

“Apalagi, Tyas!” Tanya Dhito sedikit membentak, Tyas mengerti situasinya sehingga dia tidak perlu tersinggung.

Menarik napas dalam-dalam setelah berusaha untuk menetralkan dirinya sendiri, Tyas menangkup wajah Dhito memberi usapan lembut di sisi wajah tanpa berkata apa-apa, membuat garis yang semula menegang mulai rileks. “Aku tau ini kabar yang sangat nggak kamu harapkan begitu pun aku. tapi, kamu harus tenang dan jangan terburu-buru dengan kondisi kalut seperti ini.”

“Tenang? Bagaimana aku bisa tenang! Coba katakan padaku? Ibu masuk rumah sakit, Tyas. Aku udah firasat nggak enak akhir-akhir ini.” Tyas tidak akan terpancing, jika Dhito meledak menjadi api maka seharunya dia menjadi air yang memadamkan. Dhito memang pernah bilang kalau dia merindukan Danita, tidak sabar menjemput ibunya untuk datang ke rumah Tyas, melamarnya.

“Aku tau, nggak seharusnya aku minta kamu tenang. Setidaknya pikirkan ibu, untuk bisa sampai ke Bali itu butuh perjalanan, kalau kamu nggak tenang kemungkinan lain akan terjadi pada diri kamu. pertama, kita cari tiket penerbangan malam ini juga, kalau nggak ada, kita cari untuk jadwal penerbangan besok pagi.”

Dhito mengusap wajahnya, Tyas benar, bahwa jarak Bandung-Bali tidak sedekat ke Jakarta. Butuh tiket pesawat, meski jaman sekarang mudah mendapatkan tiket kurang dari 24 jam dan ini adalah Jumat, weekend biasanya tiket-tiket penerbangan ke destinasi tujuan wisata selalu habis terjual.

“Aku yang nyetir, ya?” tawar Tyas lagi dengan lembut, Dhito terdiam memandang kekasihnya. Lalu Tyas terkesiap saat Dhito malah menarik tubuhnya dan memeluk.

“Maaf aku bentak kamu barusan.” sesalnya, lelaki itu bersyukur ada Tyas di sampingnya kalau tidak, dia yakin sudah tidak tahu arah dan akan gegabah.

“Nggak apa-apa, nggak ada anak yang akan tetap baik-baik aja menerima kabar orang tua tersayangnya sakit.”

“A-aku takut, Tyas... Aku cuman punya ibu, hanya tinggal Ibu.”

Tyas merasakan tubuh lelaki dalam pelukaannya bergetar, Dhito-nya menangis. Tyas pun kembali meneteskan air mata, meski baru sekali bertemu Danita dan intensitas hanya terjalin melalui komunikasi mereka merekat beberapa hari belakangan ini, ah... Tyas ingat, dia pernah merasa suara Danita sedikit lemas, waktu itu dia bertanya apa beliau sakit, Danita menjawab baik-baik saja. 

“Ibu pun hanya punya kamu, aku yakin ibu mau kamu ada di sampingnya buat menguatkan dia, ibu akan lebih terpukul kalau kamu kenapa-kenapa.” Dhito anak satu-satunya Danita, kedekatan mereka tentu saja membuat Dhito rapuh dan sedih seperti ini.

Dhito mengangguk setuju, dia harus kuat. “Aku yang nyetir, kita ke apartemen kamu. bersiap buat ke Bali sekaligus cari tiket, lalu kita telepon Fanya kembali untuk pastikan kondisi ibu.”

“Aku masih bisa nyetir.”

“Kamu yakin, sayang?”

“Iya, aku nggak mungkin juga bahayakan kamu.” Ujarnya terlihat lebih tenang, Tyas mengangguk sambil memerhatikan wajah kekasihnya, kesedihan kental terasa.

Bukan Cinta diam-diam [no secret!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang