Those who live in the past limit their future and I don't want to do it ~Dhito
***
"Saya yakin, tante dan om tahu betul tujuan saya datang. Saya mencintai putri om dan tante, kalau ditanya soal rencana, saya sudah berpikir jauh sejak awal ketika mendekati Tyas terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Saya serius dan kedatangan malam ini selain untuk berkenalan dengan om dan tante, saya juga ingin sampaikan niatan saya melamar Tyas jadi istri saya." Dhito mengatakan semua itu dengan lancar dan serius, berusaha menata bahasanya agar sopan. Meski, hatinya ketar-ketir terlebih orang tua Tyas memberi tatapan menilai sekaligus menakutkan.
Sementara di sisi lain, Tyas semakin berdebar dengan alasan lain.
for god's sake!
Dia tidak menyangka dengan jawab Dhito melamarnya saat ini juga. Dhito memang pernah bilang, kalau dia tidak main-main dalam hubungan ini. Tapi, melamar adalah satu langkah besar dalam sebuah hubungan mereka.
"Dhito, kamu?" Tyas kehilangan kata-kata, bahagia dan khawatir jadi satu.
Tidak, bukannya dia kecewa karena Dhito tidak bicara atau melamar secara pribadi lebih dulu dengan cara romantis seperti di film atau novel romance, justru cara Dhito pilih langsung mengatakan pada orang tuanya adalah hal paling berani dan bukti nyata dari kekasihnya. Kembali melihat cara orang tua, apalagi Mami menatap tidak suka pada kekasihnya, membuat Tyas punya firasat tidak baik.
"Iya, Tyas. Aku sudah katakan padamu, bahwa aku serius dengan hubungan kita." Dhito memberi tatapan menenangkan seakan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Lalu Tyas kembali menatap orang tuanya, meski samar Tyas melihat senyum tipis di wajah Papi sementara Mami tetap angkuh. "Berani sekali kamu melamar Tyas, jaminan apa yang mau kamu berikan hingga kami harus menerima kamu?!"
Tyas mengerjap, "Mami, kenapa bicara begitu!" Tidak percaya Mami akan mengatakan hal seperti itu.
"Lho memang Mami salah? Mami hanya memastikan, bahwa lelaki yang datang ini pantas untuk kamu." Jawab Mami tanpa bersalah, tidak menarik kata-katanya.
Tyas benar-benar berharap Dhito tidak sakit hati, karena dia sebagai anak pun malu mendengarnya.
"Saya tahu tan, om, kalau saya hanya lelaki biasa, latar belakang keluarga saya juga, ya... saya yakin om dan tante jelas sudah cari tahu. Saya memang berasal dari keluarga sederhana sekali. Namun, saya punya satu keyakinan ketika orang tua saya mengajarkan dan mendidik saya hingga bisa sampai seperti sekarang ini. Harta, saya nggak punya sebanyak om dan tante harapkan untuk menjamin Tyas. Saya hanya miliki tekat dan mau bekerja keras untuk keluarga saya nanti, meski nggak bisa berlebih, saya pastikan istri dan anak saya nggak akan sampai kekurangan."
Ya ampun... lelaki mana lagi yang lebih baik dari ini? Nggak bisakah Papi dan Mami melihat ketulusan dari semua yang Dhito katakan? Bisik Tyas.
Dhito bicara apa adanya, dia tidak mengumbar janji berlebihan atau mencari jawaban yang terdengar memaksa hingga membuat orang tuanya mau menerima. Tapi, tutur bahasa tegas dan serius dengan kalimat sederhananya, Tyas harap itu bisa berkesan hingga orang tuanya mau menerima.
"Saya nggak percaya, lelaki yang miliki reputasi sepertimu bisa mengatakan itu semua!" Mami masih saja mencibir.
Tyas melirik Papi, berharap kepala keluarga Rasyid itu angkat bicara karena entah apa yang di pikirkan Papi, hanya diam sambil serius menatap Dhito dengan pandangan menilai ciri khasnya.
"Mami, semua orang punya masa lalu."
"Dan kamu mau hidup sama lelaki dengan masa lalu seperti ini? Apa? Kamu mau membantah kalau mami ini menuduh, iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
Literatura FemininaTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...