Atas permintaan Papi, Tyas setiap weekend akan pulang ke rumah orang tuanya. Jumat sore, sopir pribadi akan menjemputnya. Masih menunggu jemputan, Tyas berdiri sendiri sementara teman-temannya sudah pulang lebih dulu. Sepi dan sendiri selalu di manfaatkannya untuk memikirkan apa yang telah terjadi belakangan ini. setelah ungkapan Dhito beberapa bulan lalu, Tyas berusaha bersikap profesional dan biasa setiap kali harus bertemu satu ruangan dengan lelaki itu.
Tyas bukan tidak sadar bagaimana Dhito berusaha menarik perhatian. Seperti biasa saat Dhito akan melangkah ke arahnya, Tyas akan cari arah lain untuk menjauh dari Dhito. Beruntunglah ia memiliki teman-teman yang mudah membaca situasi, terlihat bagaimana Santi, Rere ataupun Yulia mulai mencurigai. Tidak sekali, dua kali mereka terus terang menyampaikan pendapatnya, kalau Dhito terlihat berbeda dengan tatapan tertarik yang jelas saat melihat Tyas.
Tyas belum mengungkapkan hal itu, dia yakin besok sore ketika tiba-tiba teman-temannya kompak ingin makan bersama di Resto Sacred Lotus sekaligus menengok Sita yang sudah memasuki usia kehamilan tujuh bulan, mereka pasti sudah memiliki rencana untuk menginterogasinya.
Sayangnya takdir seperti sedang menguji Tyas, bagaimana bisa saat dia berharap tidak melihat Dhito lelaki itu malah melangkah keluar Hotel sampai berdiri di sampingnya, kali ini Tyas gagal melarikan diri.
"Sore Tyas, sendiri?" tanyanya berbasa-basi, terlihat biasa memang dan beruntungnya Dhito tidak marah atas sikap defensif waktu itu.
"Sore.. Bapak cari teh Santi atau Rere, kalau ia mereka udah pulang." Tyas memilih jawaban lain, dibanding menjawab iya atau lainnya.
Dhito mengerutkan kening, sebelum menarik sudut bibirnya karena terbiasa dengan jawaban Tyas yang lebih terdengar mengusirnya.
"Aku nggak sedang ada urusan dengan mereka atau yang lain." Dhito melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, jika Tyas sudah kembali bersikap formal maka Dhito tidak.
"Waktu kerja juga udah berakhir, kan?" Tyas memilih tidak menjawab lagi, membiarkan saja Dhito berdiri di sana. Tyas tidak menyangka setelah beberapa menit lelaki itu tetap bertahan.
"Kamu sedang menunggu jemputan?" tanya Dhito lagi, tapi Tyas memilih diam dan fokus pada ponsel. "Tyas, kamu dengar, kan?"
Tyas berusaha untuk tenang tapi Dhito dan sikap anehnya belakang ini membuat Tyas kehilangan sikapnya tersebut.
Tyas menghadapnya "Mau bapak apa sih?!"
"Mauku, kamu berhenti berasumsi." Seperti merasa puas, lelaki itu malah tersenyum seakan-akan memang menanti Tyas membahasnya.
Tyas memutar bola matanya malas. Dia bertahan memasang wajah tidak peduli. "Saya nggak berasumsi, pak. memang ini yang harus saya lakukan."
"Jika yang kamu maksud adalah Lun—"
"Mobil jemputan saya sudah datang, permisi pak." Rongga dadanya lebih ringan saat melihat mobil jemputan suruhan Mami sudah datang, Tyas mundur beberapa langkah lalu berbalik dan dia terkesiap saat sebuah tangan menariknya kuat hingga tubuhnya memutar menghadap Dhito.
"Lepas! Mau bapak apa sih?!" Geretaknya.
"Aku nggak main-main saat mengatakannya, Tyas!"
"Dan saya pun nggak berasumsi!" Balas Tyas tegas.
Tyas tidak tahu mengapa kini posisinya terbalik, Dhito terlihat tidak menyerah untuk mendekatinya. Tyas tidak ingat sudah memberi Dhito mantra hingga lelaki itu tidak berhenti saja. "Kalau aku bisa membuktikan bahwa kamu hanya berasumsi, kamu harus memberiku kesempatan ."
"Bapak jangan main-main! Saya udah memiliki keka—"
"Saya nggak peduli sekali pun harus merebutmu dari Artara Rasyid." Jawab Dhito lalu melepaskan tangannya, langsung berbalik dan melangkah menjauhi Tyas setelah berhasil membuatnya tidak berkedip karena ucapan Dhito barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
ChickLitTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...