Dhito tahu ada yang tidak beres sejak kepulangan Tyas ke rumah orang tuanya Jumat malam lalu. Terakhir Tyas mengabari baru selesai mandi dan akan makan malam dengan orang tuanya. Tapi, dua hari di weekend itu Tyas hilang tanpa kabar. Teleponnya tidak sama sekali diangkat begitu pun pesan hanya dapat centang biru tanpa balasan.
Masih coba menghubungi justru hanya ada kotak suara terdengar bertanda Tyas tidak mengaktifkan ponsel. Dhito berusaha sabar, mungkin saja pacarnya itu sedang ada acara dengan keluarga. Masih terus berpikir positif dan tidak menuruti keinginan hati untuk menyusul Tyas ke kediaman orang tuanya lalu menimbulkan renggang pada hubungannya, sebab Tyas sendiri belum beri lampu hijau untuknya muncul di hadapan orang tuanya.
Senin pagi, Dhito makin yakin memang ada yang tidak beres saat Tyas hanya kirim pesan mengatakan dia sudah berangkat ke BM hotel. Benar, Dhito melihat dia sudah bersama teman-temannya. Saat itu, Dhito sedang bersama GM membahas brifing pagi ini. Meski begitu ingin menghampiri, ia harus puas hanya dengan perhatikan wajah pacarnya merengut dan kehilangan ronanya.
Dhito makin tidak sabar untuk selesaikan hari ini dan menemui Tyas, berharap tidak ada badai besar harus di lalui hubungan mereka yang baru ini.
"Lo sama Tyas baik-baik aja, kan?" Dhito baru saja selesai meeting bersama kepala divisi lain termasuk Santi, semua orang sudah keluar menyisakan dirinya dan perempuan itu.
Merasa aneh dengan pertanyaan itu, Dhito mengerutkan kening sebelum mengangguk pelan. "Iya, kami baik-baik aja." Karena begitu adanya.
"Terus anak itu galau karena apa? Mata dia bengkak tadi pagi, pucat juga, kayak habis menangis semalaman gitu. Gue tanya sakit, katanya nggak apa-apa." Dhito mendengarnya langsung khawatir, dari jauh saja dia bisa melihat itu apalagi dari dekat, berarti dugaan dia tidak salah.
Dhito menghela napas, "Dia sulit di hubungi dari pulang ke rumah orang tuanya."
Santi memutar kursinya menghadap Dhito. "Pasti ada hubungannya sama dia balik ke rumah."
"Gue juga yakin gitu sih, dari cerita Tyas ya... orang tuanya masih belum ngerti pilihan hidup di jalaninya." Kata Dhito membuat Santi lega karena sahabatnya itu sudah mau terbuka pada Dhito, artinya Tyas serius dengan hubungannya.
"Iya gue tau, kasihan sama Tyas. Nggak semua anak bahagia meski fasilitas dan harta orang tuanya berlimpah." Kata Santi ikut prihatin, lalu dia menatap Dhito dengan serius. "Lo ngertikan maksud gue tadi balik ke rumah?"
"Weekend kemarin orang tuanya minta Tyas balik." Ujar Dhito agak bingung juga dengan pertanyaan ulang santi yang bernada ragu.
"Not that..." Kata Santi semakin membuat Dhito semakin penasaran.
"Then?"
Santi bergerak juga membawa tablet miliknya, dia berjalan dan Dhito masih terus memperhatikan sampai tepukan di bahu terasa sebagai support. "Tyas pasti nanti bilang sendiri." Seulas senyum di berikan oleh sahabat pacarnya itu "Dhito, gue yakin sesuatu yang terbaik memang harus di perjuangkan, nggak peduli seberapa rintangan membentang. Yakin deh kalau lo sabar dan mau berjuang, hasilnya nggak akan pernah mengkhianati usaha kita." Katanya mengantungkan di teka-teki pertanyaan dan berlalu dari sana.
Dhito berusaha untuk tetap konsentrasi pada setumpuk pekerjaan meski perkataan Santi terus saja mengusik. Rasanya memang ada yang salah.
Me: Sayang, kita pulang bareng?
Dhito mengirimi pesan itu, siang tadi ia harus keluar dengan GM, makan di luar hingga kesempatan untuk menemui Tyas belum juga ada.
Tyas: Aku nggak bisa, di jemput sopir Papi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
Literatura FemininaTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...