Tara berhasil membuatnya setuju ikut ke acara bersama teman-temannya malam ini. Hal yang mengecewakan karena dengan cara Tara, kenapa harus bilang Mami? tentu saja Mami tidak melewatinya untuk membuat Tyas hidup normal versi Mami.
"Sekali-kali kamu perlu ikut Tara nongkrong, itu bagus untuk berburu jodoh potensial." Karena menurut Mami, tempat nongkrong Tara adalah tempat strategis untuk menemukan calon jodoh potensial dan memenuhi kriteria keluarga Rasyid. Biasanya Tyas yang kerap melontarkan 'Jodoh potensial' pada teman-temannya, tetapi kini mendengar mami yang mengatakan malah terdengar tidak nyaman.
"Teman kamu ada yang jadi pengacara juga, kan? masih single?" Mami beralih pada Tara yang terlihat bersalah pada Tyas, karena Mami jadi punya alasan untuk mendikte Tyas lagi.
"Ma, kalau udah waktunya Tyas juga akan menemukan jodohnya." Tara enggan memperpanjang, apalagi setelah melihat Tyas yang diam saja.
"Bukan itu pertanyaan Mami!"
"Ada, Tapi aku yakin Tyas akan menemukan lelaki yang sesuai dengan dirinya. Iya kan, Tyas?"
"Iy-"
"Sesuai keluarga Rasyid." Tyas menghela napas saat Mami mengoreksi, tidak memberinya kesempatan bicara.
"Kalau gitu Mami akan menunggu lama melihat Tyas menikah." Tyas memberanikan diri menatap Mami, Tara menarik napas dalam-dalam karena tahu perdebatan itu tidak akan singkat.
"Kenapa begitu? Selain nggak tertarik mengikuti kesuksesan Papi dan Tara, kamu juga mau keras kepala menentukan pendamping hidupmu?" Ketus sang mami.
"Nggak ada yang salah dengan itu Mami, Tyas yang akan menjalani pernikahannya." Tara ada di pihak Tyas.
"Pernikahan seperti apa? pilihan hidup adikmu itu selama ini sudah sesuka hatinya dan Mami nggak akan biarkan kamu atau Papi mendukung-nya lagi! Apalagi soal jodoh nggak bisa sembarangan dan main-main. Kita harus tahu asal usulnya, jangan seperti beli kucing dalam karung." Mami lalu berdiri, memberi tatapan mengawasi pada putrinya. "Dengar Mami kan, Tyas?"
"Pilihan hidup Tyas memang selalu salah di mata Mami. Mungkin Mami akan berhenti mengkritik kalau Tyas menurut saja." meski tidak nyaman-lanjutnya dalam hati.
"Baguslah, seharusnya sejak dulu kamu punya pikiran dewasa seperti itu!" Langkah Mami yang selalu terlihat anggun itu melangkah meninggalkan Tyas dan Tara di ruang tamu.
"Tyas-" Tara mendekat hendak meminta maaf karena membuat adiknya harus lagi-lagi menghadapi kritikan Mami. Tetapi, Tyas malah berdiri dengan pandang lurus tidak menatap padanya. Senyum kecil tampak Tyas paksakan.
Tyas menahan air mata yang selalu siap meledak kapan saja, jika habis berhadapan dengan Mami. "Jam delapan, kan? jangan pulang malam-malam ya, ka. Besok Senin, aku kerja." Katanya dan berlalu dari sana. Tara menatap sendu pada punggung adiknya yang terlihat rapuh tersebut.
Tara sama khawatirnya dengan Mami saat Tyas memiliki pilihan untuk hidupnya. Awalnya, dia tidak setuju melihat Tyas yang memilih hidup sangat sederhana tanpa mau ada bayang-bayang nama Rasyid di belakangnya. Tetapi, ketika Papi mendukung, saat itulah Tara berpikir keras-apa yang membuat Papi setuju, dan tidak mengkhawatirkan Tyas?
Kepercayaan, satu hal yang Papi yakini bahwa apa yang Tyas pilih adalah jaminan untuk membuat Tyas bahagia. Walaupun apa yang sudah Papi perjuangkan selama ini untuk kebahagiaan keluarganya, istri dan anak-anaknya. Tetapi, kebahagiaan hanya dapat diukur dengan kepuasan batin diri sendiri dan Papi tidak bisa menjamin bahwa semua yang dia beri ini bisa membuat keluarganya bahagia menurut versi mereka masing-masing. Begitu pun, ketika Tara memilih merantau dan memulai semuanya dari nol di sana. Padahal jika Tara mau dia tinggal menikmati dan menjalankan apa yang sudah Papi bangun, itu hak anak-anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
ChickLitTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...