Entah Tyas sudah menghela napas gusar berapa kali dalam waktu beberapa menit ini, matanya selalu ingin melirik penasaran pada pintu ruangan atasan sejak tertutup tadi belum juga ada niatan untuk terbuka.
Stop berpikir aneh-aneh, Tyas!
Terus mengatakan itu pada dirinya sendiri sejak Dhito masuk ke sana dan tidak keluar-keluar. Wanita yang hari ini rambutnya di cepol asal dan membiarkan beberapa helai rambut jatuh itu benar-benar hilang fokus, tangannya berhenti di atas papan keyboard lalu ia bersandar sambil menatap angka-angka dalam tabel yang sedang disusun dengan tatapan kosong.
Apa ini waktunya dia Resign?
Kemarin ia berpikir akan melewati dengan mudah, cinta tidak akan mengalahkan kehidupannya yang sudah tertata begitu rapi sesuai keinginan, semua yang dia jalani ini penuh pengorbanan lalu bagaimana dia berpikir akan kalah hanya karena mencintai seseorang yang tidak layak seperti Dhito?
"You can do it!" Tyas menyemangati diri sendiri lalu mulai konsentrasi merampungkan laporan untuk segera diserahkan pada Luna.
Ini jauh lebih sulit, begitu selesai memegang laporan tersebut serta telah memeriksa ulang. Bangun dari kursi begitu berat, setiap gerakkan langkah kaki seperti ada seseorang yang bergelantung di sana dan jarak dari mejanya menuju pintu atasan, jadi berkali-kali lipat jauh hingga akhirnya Tyas sampai di depannya. Ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, Tyas mengangkat tangan lalu mengetuk pintu tersebut. Dia tidak berharap sesuatu yang dilihat dalam sana akan membuat suasananya menjadi semakin sulit.
"Tyas? Mau masuk?" Dhito muncul di depannya, karena banyak yang di pikirkan Tyas sampai bertindak aneh dengan hanya menatap wajah lelaki itu sambil meneliti adakah bekas tanda-tanda Luna tertinggal di sana.
Tanda-tanda apa?
Itu lho yang merah-merah kayak di gigit nyamuk atau rambut dan pakaian berantakan, kancing terlepas misalnya?
Ada yang berdebat di dalam kepala Tyas.
Sementara Dhito tersenyum kecil melihat ekspresi wajah jelita di depannya yang terlihat menyelidik, seperti mencari tahu sesuatu.
"Bapak sudah selesai dengan Ibu Luna?" tanya Tyas.
Dhito tidak langsung menjawab, Tyas mengerutkan kening saat lelaki itu malah menatap pada atasan Tyas dan Luna terkekeh pelan seakan mereka mengatakan sesuatu melalui tatapan yang tentu membuat Tyas semakin yakin telah terjadi sesuatu.
"Berhentilah menggoda bawahanku, Dhit. Kamu bisa melakukan itu nanti setelah jam kantor selesai. Bukan begitu Tyas?" ujarnya ambigu.
"Oh hm... Ya bu?!"
"Wajahnya sudah bingung loh, dhit." Kata Luna lagi lalu tertawa, "Sana pergi, kamu tahu aku, kan? kalau aku nggak tolerir, mencampuri urusan pribadi dan kerjaan bisa berantakan." Kata Luna lagi, membuat teka-tekinya semakin panjang.
Tyas hanya diam saja dan melangkah melewati Dhito, tapi dia terkesiap saat sentuhan halus yang sudah pasti sengaja dilakukan Dhito terasa di punggung tangan. Tyas mengangkat kepala hingga tatapan mata mereka bertemu dan dengan jelas melihat senyum lelaki itu masih setia menghiasi wajahnya.
Senyum yang seakan melemparkan kode, dan Tyas benci ketika pikiran tersita seharian.
***
Lunch time, Tyas menceritakan tentang yang terjadi tadi serta ucapan-ucapan ambigu Luna yang seakan tahu akan dia dan Dhito.
"Serius Tyas? Luna ngomong gitu?" seru Santi begitu mereka selesai makan di ruangannya, mereka menempatkan diri di sofa silver yang ada di sini. Setelah Sita Resign, ruangan santi menjadi tempat rumpi yang selalu di kunjungi teman-temannya sambil makan siang jika sedang malas keluar. Di sinilah mereka bebas rumpi dan berani menyebut nama, karena sudah pasti ruangan santi kedap suara dan risiko di dengar karyawan lain semakin kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
ChickLitTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...