Reason

21.2K 2.2K 37
                                    

Sepanjang perjalanan, Dhito membiarkan Tyas diam. Dia menyetir mobil masuk ke area sebuah restoran cukup lenggang barulah ia mendapat protes dari wanita itu.

“Siapa yang mau makan?"

"Tentu saja kita."

"Sori yah pak, saya nggak bilang lagi lapar” katanya ketus.

Dhito terkekeh, sudah biasa mendengar nada begitu “tapi kita perlu bicara.” 

“Banyak tempat, nggak perlu di restoran seperti ini juga. Lagi pula bapak yang mau bicara, bukan saya.” Kata Tyas lagi lalu kembali menatap keluar jendela dan dia tahu Dhito menuruti saat mobil berbelok kembali untuk keluar dari sana. Namun, senyum Tyas lenyap saat Dhito malah membawanya ke kawasan apartemen yang asing untuknya tapi ia yakin tidak untuk lelaki itu. 

“Tempat lain, Pak Dhito. Dari kata-kata saya yang mana, nggak dapat bapak mengerti sih?” Tyas menarik sebelah alisnya ketika Dhito tidak menjawab, mobil masuk basement

“Seperti katamu yang mau bicara hanya aku, jadi hanya aku yang bebas menentukan tempatnya” Dhito membungkam Tyas, memarkirkan mobil dan keluar lebih dulu untuk memutar dan membukakan pintu untuk Tyas. 

“Saya nggak mau! Lebih baik bicara di sini!” Tyas bersikeras meski pintu sebelahnya sudah di buka, ia bahkan tidak melepaskan seatbelt yang melekat di tubuhnya. Sambil bersedekap, bertahan dengan posisi itu. 

Dhito tidak terpengaruh sedikit pun, sebaliknya dia tampak tenang. “Jangan memaksa aku untuk melakukan hal yang pasti nggak kamu harapkan, Tyas.” 

“Bapak mengancam saya?” 

“Belum, mungkin akan jika kamu tetap bersikeras—“ 

Fine! Dasar nyebelin!” Tyas segera membuka seatbelt dan mendorong Dhito untuk membuka jalan dia keluar. Tingkahnya membuat Dhito tersenyum.  Menyalakan sensor mobil, Dhito menyusul langkah Tyas yang lupa bawa ini adalah apartemen Dhito, belum pernah wanita itu kunjungi.

“Memangnya kamu tau unit apartemenku?” panggil Dhito menghentikan langkah Tyas, diam-diam wanita itu mengutuk kebodohannya. Berbalik, Tyas segera memberi tatapan tajam

“Ke arah sini” Dhito menunjuk arah berlawanan dari yang akan ditujunya tadi, lalu mereka berjalan masuk ke salah satu lift diantara yang berjajar. 

Tyas bersandar pada dinding lift sambil memberi tatapan peringatan pada lelaki di depannya. “Saya nggak tau apa pun yang sedang bapak rencanakan, tapi saya nggak akan membiarkan bapak bertindak mac—“ 

“Kamu terlalu buruk menilaiku, Tyas.” Dhito mencegah apa pun yang akan di katakan wanita itu, ia sudah bisa membacanya. 

Tyas mengambil ponsel, pura-pura sibuk melakukan apa saja untuk bisa menghilangkan rasa gugup tak karuan yang ia rasakan kini.

“Oh ya satu lagi, saya berharap setelah ini bapak bersikap profesional dan menganggap nggak pernah terjadi apa pun diantara kita.” Ucapnya yakin. 

Apa yang Tyas sampaikan malah membuat Dhito menyeringai dan itu membuat Tyas kian gugup, sejak tadi saja parfum lelaki itu sudah mengganggu pikirannya lalu bagaimana nanti saat harus masuk ruang pribadinya. 

Not deal karena kita belum tau hasilnya.” Kata Dhito dan balas menatap lekat pada Tyas. 

*** 

Tyas diam-diam mengamati apartemen, hunian lelaki itu yang rapi dan sudah pasti dominasi warna abu-abu, hitam, putih. Walau hanya ada satu kamar, ruang besar yang ada sofa bed, televisi dan juga game console lalu beralih pada sudut lain ada meja bar, dapur minimalis, tidak banyak pernak-pernik tidak penting, dan bagian balkon sepertinya tidak terdapat apa pun tapi overall tempat ini sangat cocok untuk lelaki yang belum berkeluarga seperti Dhito. 

Bukan Cinta diam-diam [no secret!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang