Out of plan

14.2K 1.5K 6
                                    

Kanker otak stadium empat, dulu mendengarnya saja sudah takut tapi kini penyakit itu benar-benar di alami orang terdekatnya. Dari penjelasan dokter, pada kanker otak stadium empat ini sel kanker tumbuh secara agresif dan masif, hampir semua sel nya sudah berbentuk abnormal dan penyebaran umumnya sudah cukup luas bahkan menyebar ke bagian luar otak, seperti tulang belakang.

Sakit kepala hebat yang kerap terjadi secara menetap pada Danita, adalah buah dari itu semua. Belum lagi Ibu kerap mual dan muntah, lalu melemah sehingga gerak tubuhnya menjadi terbatas, lama-lama bisa membuat keseimbangan hilang, kejang bahkan merusak penglihatan dan sulit berbicara sampai penurunan daya ingat, dan koma seperti yang sudah terjadi.

Semangat yang di miliki Danita di acungi jempol oleh dokter yang menanganinya, jarang yang bisa kembali setelah koma, meski jika sakit kepala sudah menghantam semua yang menyaksikan tidak akan pernah tega.

Seperti malam itu di mana Tyas menjaganya sementara Gege dan Dhito memilih menunggu di luar kamar. Danita tidak menyadari calon menantunya sudah datang, dia bangun dan berteriak sambil memegangi kepala, membuat Tyas yang baru saja memejamkan mata di sofa tidak jauh langsung terkejut. Dia mendekat tapi tidak bisa melakukan apa pun, sampai memanggil Dhito dan langsung menekan tombol darurat di samping tempat tidur, tidak lama perawat dan dokter jaga malam itu datang.

Tyas sudah tersedu menangis, sementara Dhito berdiri di depan pintu menunggu dan tidak bergerak sedikit pun dari sana. Hampir setengah jam sampai teriakan ibu tidak terdengar dan dokter keluar.

“Mari ikut saya ke ruangan, ada yang mau saya bicarakan” kata Dokter pada Dhito.

Tyas mengangguk saat Dhito menatapnya, “titip ibu...” katanya dengan suara lemah.

“Ayo Tyas, gue temani.” Kata Gege ikut berdiri.

“Lo nggak apa-apa, ge? Maksud gue ini udah malam, kalau mau pulang juga nggak apa-apa.” Gege punya istri dan anak, lagi pula dia juga belum istirahat setelah penerbangan.

“Gue nginap di sini aja, temani Dhito sama lo.” Ujarnya begitu peduli. Melihat Gege membuat Tyas ingat para sahabat yang tak berhenti menanyakan kabar Ibu Danita di grup, mereka juga terus ingatkan Tyas untuk terus berdoa dan tidak lupa jaga kondisi tubuhnya sendiri.

Mami dan Papi juga tadi menelepon, bahkan Papi bicara pada Dhito cukup lama. Dari Dhito, Tyas tahu kalau Papi memberinya dukungan dan salam untuk Ibu Danita. Tyas duduk di kursi tepat di samping ranjang Danita, wanita itu di beri obat penenang terlihat darinya yang kembali tertidur. Obat yang hanya meringankan sakit, bukan benar-benar bisa membuat sakitnya hilang. Tyas mengambil tangan wanita paruh baya tersebut, lagi-lagi dia sedih melihat tonjolan tulang di sana memperlihatkan Danita kehilangan bobot badan begitu banyak, belum lagi wajah pucat sampai rambutnya yang mulai menipis karena selama ini Danita yang sudah tahu penyakitnya secara diam-diam sudah lakukan berbagai jenis pengobatan kecuali operasi yang di tolaknya.

“Tyas...” panggil Dhito yang ternyata sudah kembali, tampangnya jauh semakin kalut pasti ada hal buruk yang di bicarakan dokter.

“Bagaimana Dhit?”

“Di luar aja bicaranya, biar gue jaga ibu.” Kata Gege mengerti ada yang perlu di bicarakan Dhito

Tyas mengangguk setuju, “Gue titip Ibu kalau ada apa-apa langsung tekan tombol darurat hitam itu, panggil gue.” Kata Dhito memberitahu hal-hal genting apa yang perlu Gege lakukan jika sesuatu seperti tadi terjadi lagi.

Oke” balas Gege lalu mereka keluar dan mencari tempat yang cocok untuk bicara.

Ada ruang khusus tunggu tamu kebetulan di sana sepi tidak ada pengunjung lain. Padahal ada kursi tunggu, tapi Dhito berdiri di depan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam di luar. Tyas membiarkan Dhito dengan pikirannya, menunggu lelaki itu siap bersuara sampai...

Bukan Cinta diam-diam [no secret!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang