Each One...

20.6K 2.2K 29
                                    

Hidupnya beberapa bulan belakangan ini jauh lebih ringan, mungkin karena teman-temannya sudah tahu tentang identitasnya. Tyas tidak perlu lagi kucing-kucingan dengan mereka jika orang suruhan Mami menjemput di hari Jumat untuk pulang ke rumah orang tuanya. Semua berjalan normal, teman-temannya tidak berubah meski kerap khusus Santi terang-terangan menanyakan kehidupan Artara Rashid, sang kakak.

Makan siang baru saja selesai, ia terpaksa berpisah dengan para sahabatnya lebih cepat karena atasannya minta ia pastikan bahan meeting jam dua nanti sudah siap. Tyas masuk lift, setelah menekan angka tujuannya, dia merapat ke sisi kiri dan memainkan ponsel tanpa pedulikan yang lain.

"So, mereka sudah tau tentang Artara rashid?" Tyas mendongak pada seseorang yang berdiri di sampingnya di tambah pertanyaan menyita perhatian.

"Sori? Bapak ngomong sama saya?" Tyas melirik Dhito sekilas, ternyata ia hanya berdua dengannya. Bersikap formal kerap ia lakukan untuk membuat Dhito berhenti mengganggu

Dhito menatapnya lurus. Sejauh ini, dia sudah berusaha untuk menahan diri setiap kali bertemu Tyas, ditambah wanita itu yang benar-benar menghindarinya. Tapi, siang ini ia tidak bisa menahan lagi saat tanpa sengaja dan tidak Tyas sadari ia makan siang di tempat yang sama dengan wanita itu serta mencuri dengar sekilas nama kekasihnya disebut oleh sahabatnya itu.

"Memang ada orang lain di sini?"

"Saya kira ada orang lain." Tyas memaksa senyumnya.

"Nggak ada orang lain selain aku dan kamu, bisakah kamu bersikap no formal?"

Tyas menarik napas dalam-dalam. "Saya hanya menempatkan diri menjadi karyawan yang sopan pada atasan."

"Tapi, sekarang sedang Nggak ada siapa pun tyas." Dhito mengingatkan kesepakatan mereka.

Tyas mengerjap, lalu dia mencari cara untuk mengalihkan pembahasan tersebut. "Bapak mau tau tentang sahabat saya yang sudah tau soal hubungan saya dan Artara, kan? bapak benar, mereka sudah tau." Sebagai kakakku, lanjutnya di dalam hati.

"Aku sudah mendengarnya tadi."

"Really? bapak menguping pembicaraan kami? Bukankah itu hal kurang sopan, ya?" Tyas memberi tatapan sok polos.

"Aku melakukannya tanpa sengaja. Kalau menurutmu nggak sopan, aku minta maaf atas hal tersebut. Tyas, bisakah kita bicar—"

"Sebentar.. hm.. Sejak kapan ada kata kita diantara saya dan bapak?" Tyas bersedekap, dia harus menyadarkan Dhito.

"Aku pikir kita sudah sepakat jadi teman. Apa ini semua karena aku nggak membantumu melarikan diri waktu itu?" kata Dhito, matanya tetap konsisten menatap mata Tyas.

Ting..

Pintu lift berdenting, bertanda lantai tujuan Tyas sudah sampai. "Sebaiknya kita bertingkah seperti dulu aja, pak. bapak atasan, dan saya bawahan." kata Tyas berani.

Dhito mengerutkan kening, melihat wanita itu akan bergerak segera di cegahnya. Dia tahu Tyas memang sudah menghindarinya sebelum kejadian waktu di acara Arsya dan sita waktu lalu.

"Kamu nggak nyaman?" tanya Dhito, ia berharap Tyas tidak serius.

Tyas terdiam menatap tangan Dhito yang menarik tangannya. "bukan saya nggak nyaman, pak. saya hanya nggak ingin membuat orang terdekat bapak atau saya jadi salah paham." Katanya tegas, Dhito kehilangan kata-kata seiring melepaskan wanita itu. Ia pikir tidak ada yang salah dengan status teman antara mereka, walau ia sendiri mulai ragu dengan perasaannya. Takut serakah menginginkan lebih dari itu.

"Tyas.." panggilnya membuat Tyas yang baru dua langkah dari lift berhenti, dia berdiri tanpa berbalik. Sementara Dhito dengan jarinya menahan pintu lift untuk tidak segera tertutup. "Ibu menanyakan kabar kamu semalam." Dhito tersenyum kecut.

Bukan Cinta diam-diam [no secret!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang