Down-turned eyes

26.2K 2.7K 25
                                    

Dhito tidak tahu mengapa tadi ketika di lift harus terbatuk saat dua wanita yang di depannya membicarakan soal Tyas, padahal ia berjalan di belakang Rere sejak turun dari mobil hotel yang di pakai meeting di luar juga melihat punggung Tyas yang berlari kecil menuju gate out hotel lalu sebuah Ferarri black 458 yang pernah dia lihat tempo hari berhenti dan Tyas masuk mobil tersebut.

Mobil yang sama waktu seminggu lalu mengantar Tyas pulang dari kelab malam.

Dari pembicaraan Rere dan Santi, seharusnya mereka sebagai sahabat tahu bahwa Tyas sudah memiliki kekasih yang tidak 'kaleng-kaleng' jika mengutip kata Rere tadi. Tetapi, Dhito tahu Tyas merahasiakannya.

Memandang pada langit gelap dan gemerlap kota Bandung di depannya sambil menikmati sebatang rokok yang sedang dihisapnya, Dhito tidak tahu mengapa jadi lelaki yang mau tahu masalah orang lain. Padahal, Tyas tidak mencari masalah dengan membeberkan kejadian dia dan Luna. Seharusnya itu hal melegakan, jika mengingat bagaimana Tyas Larasati menjadi salah satu pegawai hotel yang suka bergosip dan tidak menyimpan rahasia.

Semakin tidak percaya pada dirinya, saat Dhito menolak ajakan nongkrong teman-temannya dan memilih tetap berada di apartemen selama Weekend itu.

Minggu pagi dengan pakaian olahraga ia memilih lari sekitar apartemennya. Melakukan peregangan sembari berjalan menuju keluar wilayah apartemen dan mulai berlari di sekitar pemukiman warga yang ada di belakang apartemen. Sekitar empat puluh lima menit, mendapati sinar matahari mulai terik, ia memilih kembali dan tidak lupa membeli sarapan berupa kupat sayur.

"Pagi Pak Dhito, habis cari keringat?" Sapa salah penjaga keamanan apartemen yang cukup mengenalnya selama ini, Dhito menyerahkan satu bungkusan lain. "Wah apa ini, pak?"

Dhito tersenyum kecil, "Kupat sayur di belakang apartemen, untuk pak Asep dan pak Ade."

Pak Asep, pemilik nama itu tersenyum senang dan menerimanya. "Terima kasih.. terima kasih banyak, pak Dhito."

Dhito memang dikenal sebagai salah satu penghuni apartemen yang ramah dan baik. Ini bukan kali pertama mereka di belikan makanan. Kadang jika Dhito pulang malam, dia suka membawa makanan dan juga kopi nikmat yang mereka tahu harganya sangat mahal karena bukan sekedar kopi saset.

Dhito lalu pamit untuk kembali ke unit apartemennya. Begitu di dalam lift karena merasa sangat gerah, Dhito segera melepas jaket yang melapisi kaus tanpa lengan dipakainya. Kaus itu sudah basah, sampai membentuk lekuk ototnya. Beberapa pengunjung perempuan yang satu lift dengannya, tertangkap mencuri-curi pandang.

Dhito memang terbiasa membuat wanita sampai meliriknya dua kali, darah campuran yang di dapat dari orang tuanya membuat wajahnya kian rupawan.

Tanpa berganti baju, dia memilih sarapan lebih dulu barulah mandi. Sepiring penuh kupat sayur ekstra telur, tahu dan tempe, tidak tersisa. Dhito meneguk segelas air putihnya, barulah ia beranjak untuk membersihkan diri.

Bertahun-tahun hidup seorang diri, baru kali ini kalimat ibunya terngiang-ngiang. "Memangnya kamu mau hidup sendiri terus? Kamu butuh wanita dalam hidupmu, yang bisa menemani dan mengurus kamu."

Dhito biasanya akan menanggapi dengan santai, tetapi kini dia mulai terusik. "Apa Gue akan hidup seperti ini terus?" gumamnya lalu menghela napas panjang menatap pantulan diri depan cermin di dalam kamar mandi. Dia berdiri hanya dengan handuk putih yang mengantung rendah di pinggangnya. Dia mulai merasa sepi dan bosan hidup dengan pola seperti itu terus.

***

Berkaleng-kaleng bir tertata berdampingan dengan dua kotak Pizza dan makanan ringan lainnya diatas meja ruang tengahnya, Dhito melihat punggung dua sahabatnya. Gege dan Joshua yang datang tanpa undangan sedang asyik bermain virtual pertandingan sepak bola, masing-masing memegang stick game dengan tim sepak bola Eropa kesayangan mereka.

Bukan Cinta diam-diam [no secret!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang