Waktu kian bergerak menuju dini hari, tapi matanya belum juga mau terpejam. Bicara soal tidur nyenyak di kasur empuk, rasanya sudah lama sekali Dhito melewatinya. Setelah bencana menimpa ibu tercintanya, Dhito tidak akan bisa tidur nyenyak. Penyesalan dan merasa menjadi anak yang gagal, karena tidak bisa menjaga ibunya, padahal jelas-jelas jika bicara soal musibah, memangnya siapa yang menginginkan?
Karena itu bukanlah kuasanya sebagai manusia, semua sudah di tuliskan dalam garis hidup setiap makhluk bernapas di muka bumi ini.
Dhito menggenggam tangan ibunya, sambil terus memandang wajah pucatnya. Menjadi anak semata wayang, Dhito merasa di hujani kasih dan cinta yang di berikan orang tuanya. Setelah sang ayah meninggal, Dhito tahu sang ibu berjuang keras untuk membuat Dhito tercukupi dalam segala hal. Danita tak pernah mengeluh, senyum selalu terlukis di wajahnya meskipun Dhito tahu, jika di belakangnya, sang ibu selalu tersedu dengan tatapan rindu menatap figuran foto sang ayah, mencurahkan resah pada mendiang suaminya.
Ayah, maafkan aku nggak bisa menjaga ibu dengan baik—bisik hatinya.
“Hei...”
Sebuah usapan lembut di bahu membuat Dhito mendongak dan menemukan mata sayu Tyas, kekasihnya itu tadi sudah tidur di sofa panjang ruangan ini. sementara Gege memilih tidur di ruang tunggu.
Dhito juga tahu bahwa keputusannya ini sangat berat, dia harus menarik janji yang sudah di berikan. Berat rasanya harus berjauhan dengan Tyas. Tetapi, wanita di depannya ini justru memberinya kekuatan magis yang berhasil membuat Dhito yakin atas keputusannya, tidak ada tanda-tanda kecewa.
“Kok bangun?” tanya Dhito melepas genggaman tangan ibunya, lalu menarik tangan Tyas dan menciumnya.
“Bagaimana aku bisa tidur lelap, kalau belahan jiwaku sendiri nggak tidur.” Dhito mengulum senyum, kalimatnya itu mengemaskan sekali, Dhito tahu Tyas mencoba menghiburnya.
“Aku belum ngantuk.”
“tapi, tubuhmu itu terlihat lelah, Dhito.” Tyas mengusap lembut lingkaran di bawah mata Dhito. “Tidurlah, walau hanya sebentar.”
Dhito mengangguk lalu bangkit, tidak melangkah, mereka berdiri berhadapan.
“Kamu juga, ayo tidur lagi.” Ajaknya menarik Tyas kembali ke sofa. Mereka berbaring di sana, Sofanya memang cukup besar, meski dalam posisi miring dan Dhito memeluknya, setidaknya cukup untuk tubuh mereka.
“Kalau ibu bangun lihat kita bagaimana?” Tanya Tyas dengan pipi sudah merona, merasakan tangan Dhito memeluk pinggangnya dengan posesif, dan membayangkan Danita menangkap basah mereka.
Dhito terkekeh, “Nggak apa-apa, ibu tau aku hanya memeluk kamu meski aku ingin lakukan hal lain.”
“ish! Aku serius tau! Hm... Aku ambil selimut aja.”
“terus kamu tidur di bawah?”
“Iya.” Meski Tyas ragu dia akan bisa tidur di lantai hanya beralaskan selimut.
“No, aku nggak bisa biarkan kamu sakit punggung dan masuk angin.” Katanya.
“Tapi—“ Tyas hendak mendebat kembali.
“Sssstttt... berdebat denganmu berhasil buat aku ngantuk, tidurlah.” Dhito tidak membiarkannya, pelukan di pinggang kian erat dan Tyas pasrah, sambil berharap mereka bangun lebih dulu dari Danita.
Sementara mereka mulai terpejam, sepasang mata terbuka, air mata di sudut matanya jatuh membasi bantal. Danita mendengarkan, merasakan interaksi sang putra dengan kekasihnya. Dia tahu bahwa hidupnya mungkin saja tidak lama lagi. Tapi, sebelum semua itu terjadi, ada satu keinginannya sebelum menghadap sang Pencipta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta diam-diam [no secret!]
Chick-LitTidak ada rahasia! Begitulah Tyas Larasati, si jelita berusia 25 tahun penghuni Finance BM Hotel yang terkenal suka bergosip. Termasuk urusan hati--bukan lagi pengagum rahasia--Tyas dengan terang-terangan mengaku suka pada Dhito, director of human...