65. Anshel dan pemikirannya

495 77 69
                                    

Keadaan mansion keluarga bapak Gavino Fadly Alamsyah pagi ini sudah diisi oleh keributan yang ditimbulkan oleh si tengah vs si bungsu yang berebut ingin menyiram bunga di kebun bersama sang buna dan kakak sulung mereka.

"No! Ini hari punya Vier, abang syuh-syuh" si bungsu menggerakan gestur mengusir yang membuat Nio kesal bukan main.

"apasih kamu bocil! No, ini hari punya abang!,"balasnya tak mau kalah.

Lala dan Anshel yang sebenarnya sudah jengah, hanya diam saja. Biarkan, nanti juga capek sendiri, kita lihat saja.

"AYAHH!! ABANG GAK MAU NGALAH SAMA ADEK!," dan pada akhirnya jurus terakhir yang dimiliki sibungau adalah berteriak dan mengadu pada sang ayah. Gavin yang kebetulan tengah menyeduh kopi di dapur lantas terkejut dengan teriakan sibungsu yang benar-benar memekakan telinga.

"kenapa Vier harus jiplak gue banget si, udah gede masih ngaduan," gumam Gavin yang mengingat betapa rese' nya dia yang hobi sekali mengadu pada sang ibunda.

Benar saja, tak lama bocah itu sudah berlari menghampiri dirinya dengan raut wajah yang cemberut, tangannya ia lipat di depan dada. "kenapa lagi?,"

"abang gak mau ngalah sama adek, adek 'kan mau ikut bantuin buna sama kakak di kebun,"

"ya 'kan bisa sama-sama, kenapa harus ribut?,"

"GAK BISA AYAH!,"

Gavin menghela nafasnya lelah,  "mending kita main ps aja yuk, di kebun panas nanti, yuk!,"

"Aaaaa ayah mah, adek 'kan mau sama buna,"

"ayo main ps sama buna, buna sudah selesai berkebun," sahut Lala yang berjalan dari arah halaman belakang dengan Anshel dan Nio yang mengintilinya di belakang persis anak ayam.

Xavier segera beralih pada sang buna, tangannya ia gunakan untuk memeluk sang buna dengan erat, "adek, lepas dulu. Buna biar mandi dulu, abis dari kebun,"pinta Lala. Vier mendongak dan menggeleng, "Gak mau, maunya sama buna,"

Benar saja, Vier tak melepaskan pelukannya sama sekali, bahkan ia mengikuti sang buna menuju kamar. "adek tunggu sebentar, ya?"

Xavier mengangguk dengan diiringi cengiran khas miliknya, "okey dokey!,"

Lala bernafas lega begitu memasuki kamar mandi, "huh, mau mandi aja susah banget," ujarnya sembari membersihkan wajahnya di wastafel kamar mandi.

Membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk bersih-bersih, Lala keluar kamar mandi dengan kaos hitam juga celana pendek miliknya, tak lupa sebuah handuk yang tengah melilit kepalanya.

"buna, lama!,"protes si bungsu yang tampak bosan karena menunggu seorang Lala mandi.

"kalau buna mandinya cepet, nanti gak wangi,"

"enggak tuh, kata adek buna tetep wangi walaupun gak mandi juga," Lala menatap heran si bungsu, itu anak belajar ngegombal dimana coba?

"adek gombal ah, males buna,"

"No! Adek gak gombal buna!," protesnya. Vier kembali memeluk tubuh sang buna yang tampak kebih segar dari sebelumnya, dan benar saja, tubuh sang buna jauh lebih harum setelah mandi.

"buna wangi, adek suka!,"

———

Sudah terlihat dengan jelas bahwa pasangan ibu dan anak itu tengah bermain ps, dengan fokus miliknya Lala berusaha mengalahkan anak bungsunya.

"buna ayo lah ngalah sama adek,"rengek Vier yang sudah mulai lelah melawan karakter game milik sang buna.

"No, kita 'kan lawan, masa iya mengalah,"

"buna, mengalah bukan berarti kalah," tiba-tiba saja Rimba datang dan berdiri persis disebelah sofa dengan beberapa tentengan yang Lala tebak berisikan makanan.

Lala dan Vier menoleh secara bersamaan, dan saat itu pula stik ps milik ibu muda itu sudah tergeletak di karpet berbulu, ibu muda itu lantas  melompat kearah sang kakak.

"yailah Queen, malu sama anak,"cibir Darrel yang baru saja masuk dengan diikuti oleh Axel juga anak-anak mereka.

Vier masih melongo melihatnya, "buna, adek menang!,"cicitnya.

Lala cepat-cepat menoleh, "ihh, adek curang!," balasnya tak terima.

"ayo tanding lagi!,"lanjutnya.

Vier menggeleng, kemudian menarik tangan sang buna dari pelukan pamannya yang paling  seram, kata abang Nio sih.

"buna,"panggilnya dengan raut wajah yang terlihat ingin menangis, Lala terkekeh melihatnya.

"hahaha, kamu lucu, sini-sini," Lala mendekap erat tubuh putra bungsunya yang membuat Rimba, Axel, dan juga Darrel menggeleng, mau heran tapi itu adik bungsunya mereka.

***

Usai berkumpul karena kunjungan dadakan dari ketiga kakaknya serta anak-anak mereka, malam ini Lala berniat mengajak Anshel untuk shopping ke pusat perbelanjaan.

"adek ikut!,"seru si bungsu dengan suara riang.

"abang pun!,"sahut si tengah tak kalah riang.

"ayah ikut, nggak?,"tanya si bungsu yang kini menoleh pada sang ayah.

Gavin tersenyum tipis, "harus dong, nanti buna di godain kalau pawangnya gak ikut,"timpalnya pada pertanyaan si bungsu.

"ih pawang buna tuh abang!—

"—adek lah!"sungut Vier tak mau kalah

"ayah lah, ayah 'kan suami buna,"Gavin ikut menyahuti yang membuat Nio dan Xavier mendengus sebal. Ini si bapak tua ikut-ikut aja—pikir Nio dan Vier.

"kata uncle Lele yang pawangnya buna cuma om Bara, soalnya om Bara bisa naklukin buna yang katanya dulu nakal jadi anak baik-baik, eh, pas ketemu ayah, nakal lagi,"celetuk Anshel yang sudah rapih dengan Lala di belakangnya, bahkan ibu anak tiga itu sempet melongo mendengar celetukan dari anak sulungnya. Lala meringis menatap Gavin yang kini juga ikut meringis, "wah, ayah parah, masa buna jadi anak nakal, buna kita 'kan anak baik, berarti kita hukum ayah aja, jangan deket-deket buna, nanti buna ketularan jadi anak nakal kalau sama ayah,"penuturan si bungsu membuat Gavin seketika panik. Sudah cukup hukum-hukumannya—batinnya.

"ayo buna, kita shopping!,"ajak Nio yang di angguki oleh Xavier, "iya ayo buna, tadi adek dikasih kartu sama daddy Rimba, katanya suruh buat jajan!,"serunya sembari mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari saku celananya.

"kamu mau beli jajan itu sampe pabrik-pabriknya juga kebeli, dek,"cicit Anshel. Ketiganya mendapat kan kartu yang sama dari kakak sulung buna mereka, katanya memang buat jajan.

"Bun, besok kartunya balikin ke kak Rimba aja deh, aku 'kan masih mampu kasih jajan ke anak-anakku, mampu pake banget malah,"

"ayah, rezeki tuh gak boleh di tolak, lagipula kartu yang dikasi daddy bisa kita simpan untuk suatu saat nanti, nah kartu dari ayah, buat kita jajan," sahut Nio yang diangguki oleh Xavier. Tak lama Anshel ikut mengangguk, "kartu dari daddy, mau kakak pakai untuk investasi masa depan yah, kakak mau coba buka usaha dan menabung untuk masa depan kakak, karena gak selamanya kakak terus bergantung sama ayah dan buna, suatu saat kakak juga punya keluarga sendiri yang akan menjadi tanggung jawab kakak," mendengar penuturan Anshel, seketika Lala menunduk dengan jari-jari yang saling bertaut. Perkataan anak sulungnya membuat dirinya seakan tersadar, bahwa cepat atau lambat, ketiga anaknya akan dewasa dan memilih jalan hidupnya sendiri.

***

Uhh kaka Anshel sweet banget:(

You're My Missing Puzzle Piece ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang