56. Temu kangen

485 85 49
                                    

Hari-hari telah terlewati dalam suka maupun duka, segala masalah berhasil di lewati oleh keduanya dan hari ini, detik ini, mereka berhasil melewatinya. Pagi ini, suasana rumah sedang ramai-ramainya dengan ketiga anak laki-laki yang tengah sibuk mencari perlengkapan sekolah masing-masing. Anshel yang mencari dasi, Nio yang mencari kaos kaki, serta si bungsu Xavier yang tengah mencari topi merah putih-nya.

"duh, satu-satu dong, buna pusing nih" keluh Lala yang membuat ketiga putranya hening dan menghentikan aktivitasnya sejenak.

"coba dicari pelan-pelan, semua peralatan sudah buna simpan di lemari masing-masing. Buna harus siapin sarapan kalian, di cari yang benar dulu," nasihatnya.

Ketiganya mengangguk, dan kembali mencar ke kamar masing-masing untuk mencari kembali peralatan yang tidak ada. Benar saja, tak lama kemudian ketiganya sudah kembali dengan rapih.

Lala menyunggingkan senyumnya melihat Anshel dan Nio dengan seragam putih biru-nya serta Vier dengan seragam putih merah-nya. Ketiganya sangat tampan menggunakan seragam sekolah tersebut, tak lama kemudian Gavin turun dan bergabung. Pria itu mencium kening sang istri yang membuat ketiga putranya mendengus sebal.

"tck, ayah curang. Ini 'kan buna-nya Vier, jangan cium-cium!," omel si bungsu yang membuat Gavin terkekeh mendengarnya.

"sssttt, anak kecil enggak boleh protes!." ledek Gavin yang membuat Vier mempoutkan bibirnya dan mendapatkan kecupan singkat di kedua pipinya dan pelakunya adalah Anshel serta Nio—kedua kakaknya.

"ish, apasih cium-cium. Vier udah besar tauk!," kesalnya. Bocah itu semakin memberengut kesal dan hal itu semakin membuat Anshel dan Nio gemas.

"apasih, kamu tuh masih bayi!" celetuk Nio yang membuat Xavier menatap sinis abangnya itu, hal itu bukan membuat Nio risih melainkan senang. Adiknya itu sangat menggemaskan jika mode sinis seperti ini.

"abang mulai deh, kompor mledug banget sih" cibir Gavin yang membuat Nio balik menatap sinis sang ayah.

"apasih, bapak-bapak diem aja deh. Ini 'kan masalah anak young!" balasnya tak mau kalah.

"anak muda, dek. Bukan young," koreksi Anshel yang membuat Nio menatap sang kakak lekat.

"kak, dengar ya. Young itu artinya muda, ya sama aja dong." kilahnya.

Lala dan Anshel hanya bisa menghela nafasnya pasrah, suka-suka mereka ajalah. Yang penting seneng. "ssstt, udah-udah. Cepat sarapan, udah jam berapa ini? Entar telat, dihukum, nanges." celetuk Lala yang membuat ketiga putranya diam tak berkutik dan melanjutkan sarapannya.

"cih, dasar curut bucin. Heran, bucin kok sama istri orang."

Lala hanya bisa menghela nafasnya, menyelesaikan sarapannya dan buru-buru mengambil kunci mobilnya. "kakak, abang cepetan. Jangan sampe buna tinggal ya!," ancam Lala yang membuat Anshel dan Nio segera menghabiskan sarapannya.

"kamu beneran mau anterin anak-anak?,"

Lala mengangguk sembari membenarkan letak jas yang Gavin gunakan, merapihkan dasi yang sedikit berantakan dan tersenyum puas setelah melihat hasilnya. Suaminya sungguh sangat tampan seiring berjalannya waktu, definisi semakin tua semakin tampan.

"Kamu nanti bawa mobilnya hati-hati, aku duluan. Takut anak-anak telat—adek, bekalnya jangan lupa dimakan. Uang jajan udah buna taruh di dalam tas, yang nurut kalau di nasihatin sama bu guru. Jangan gangguin kakak kelasnya terus, ini juga bukan cuma teguran buat si adek, tapi buat abang dan juga kakak,"

"iya buna," jawab ketiganya serempak.

"aku berangkat duluan ya mas, kamu hati-hati."peringatnya.

———

Begitu sampai di sekolah tempatnya dulu, Lala segera memarkirkan mobilnya di parkiran sekolah dan ikut masuk kedalam karena ingin bertemu dengan wali kelas si sulung.

"hey, itu beneran ibunya Anshel sama Nathan, ya?," bisik murid-murid disana begitu melihat Anshel dan Nio yang datang bersama sang buna—Lala.

"bukannya itu kakaknya?,"

"eh, bukannya kakaknya Anshel cowo ya?, atau mungkin itu pacar kakaknya Anshel kali ya?,"

"entahlah, bingung aku."

Lala terkekeh begitu tak sengaja mendengar bisik-bisik dari siswi perempuan angkatan Anshel. "Nio langsung ke kelas ya bun, bye!"

"semangat anak ganteng!,"

Begitu sampai diruang kelas Anshel, Lala ikut melangkah masuk menghampiri guru wanita yang pernah mengajarnya dulu yang kini menjadi wali kelas putra sulungnya.

"selamat pagi bu Wati!," sapa Lala yang langsung mencium punggung tangan guru bahasa indonesianya terdahulu.

"masyaAllah, ini Syahla? Yaampun nak, enggak berubah ya mukanya. Tetep cantik!," pujinya.

Lala tersenyum kikuk dan duduk dihadapan bu Wati setelah dipersilahkan, bu Wati masih memandangnya kagum. "yaampun nak, ibu nggak nyangka kalau sekarang ibu gantian mengajar anak kamu. Duh, ini mah ibu kayak ngajar cucu ibu," candanya yang membuat Lala tertawa kecil.

"yaampun ketawanya masih sama."

"eh?, ibu sampe detail banget inget ketawa saya,"

"aduh, ibu jadi lupa 'kan. Kamu kabarnya gimana nih?, Gavin sehat-sehat aja 'kan? Sudah punya anak berapa?,"

"alhamdulilah sehat semua bu, 3 bu. Anshel, Nathan, sama adiknya. Xavier namanya," jelasnya.

"masyaAllah,"

Lala tertawa kikuk mendengar sang guru yang tak henti-hentinya mengucapkan kata masyaAllah saat berbincang dengannya, keduanya asik berbincang hingga jam pelajaran pun mulai. Bu Wati tetap mengajak Lala berbincang, guru wanita yang sudah berumur itu mengajak Lala kearah kantin untuk sekedar mengingat masa-masa saat Lala masih sekolah dulu.

"aduh, ibu beneran nggak nyangka sayang, kalau ternyata ibu juga ngajar anak kamu. Bener-bener deh, kangen banget ibu sama kalian,"

Lala tersenyum sembari mengangguk tanda menyetujui ucapan bu Wati, "iya bu, kangen masa-masa dulu."

"iya, dulu waktu jamannya kamu, kamu tuh sering banget di musuhin kakak kelas karena dikelilingin cowok-cowok ganteng, padahal itu abang-mu semua," jelas bu Wati yang membuat Lala tertawa kecil mengingat kejadian tersebut. Memang benar adanya, saat itu Lala seringkali di musuhi oleh para kakak kelas, terutama yang perempuan. Sudah kenyang sih dia kalau sama yang namanya di musuhin bahkan di bully sekalipun.

"tapi pernah enggak sih kamu marah karena di musuhi kakak kelas mu itu?" tanya bu Wati penasaran. Lala tersenyum, "biasa aja sih bu, marah paling ya kalau mereka udah kelewatan aja. Lagi pula mau di musuhin atau enggak, mereka juga enggak ada pengaruh apa-apa si di hidup saya. Jadi, saya enggak rugi juga," terangnya.

Bu Wati tersenyum kagum. Ini yang paling ia suka dari sikap seorang Syahla—masa bodo. Tidak perduli orang mau berkata apa, selagi kita tidak merugikan mereka untuk apa memikirkannya? Tidak penting sama sekali dan tidak ada untungnya juga.

"terus-terus, kalau sama Lia, kamu sering ketemu juga? Aduh, ibu kangen kalian jalan sambil gandengan terus Lia yang jagain kamu dari godaan kakak kelas yang cowok dulu. Kalian berdua tuh kenapa gemes banget?," Lala terkikik, Bu Wati masih sama, selalu ekspresif.

***

Hehe...

You're My Missing Puzzle Piece ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang