16. Melepas

799 66 91
                                    

Hari demi hari sudah terlewati, agaknya waktu memang terus berjalan begitu cepat, rasanya baru kemarin Lala melahirkan putranya kini bayi tersebut sudah berusia delapan bulan.

Bayi yang kerap dipanggil Nio tumbuh menjadi bayi gembul yang menggemaskan.

Tak hanya itu, waktu 8 bulan ini rasanya seperti roller coaster, sebab Darrel, Axel, Arga dan Niel sudah melepas masa lajangnya dan hari ini adalah hari dimana Leon akan bergabung dengan mereka.

Suasana haru mendominasi ruangan di salah satu gedung milik sang kakek. Yaitu, Fernando.

Sembari memangku Nio, Lala mengusap air mata nya, abang nya, abang yang selalu ia jadikan tempatnya bersandar dan berkeluh kesah, akan membina keluarga kecil dengan sahabatnya—Raini, sedih, senang, semua bercampur aduk, seperti tidak rela namun harus tetap melepaskannya.

Leon begitu lantang saat mengucapkan ijab qabul nya, lagi-lagi hal itu membuat keluarga yang menyaksikan menangis haru karena nya.

"sekarang abang gue udah punya keluarga masing-masing, begitu juga dengan gue dan ini saat yang paling gue hindarin namun harus tetap gue hadapin."

Lia menoleh, mengusap bahu adik perempuannya, "jangan egois, Sya."

"gue takut, Li,"

"kalau lo takut karena mereka bakal mengesampingkan elo, elo salah! Bagaimanapun juga mereka punya janji, janji yang mereka buat dan gue yakin pasti mereka bakal nepatin janji mereka kok."

"mungkin iya, tapi enggak buat ka Arga sama ka Axel,"

"maksud lo?,"

"ka Arga milih Bandung buat membangun keluarga kecilnya, sedangkan ka Axel lebih memilih Surabaya, see? Gue kehilangan kan?."

Lia tersenyum tipis, "jangan egois, lo punya Gavin, lo punya gue, punya Nael, punya Anshel, sama Nio, ada bunda sama Ayah, ada Mommy sama Daddy. Banyak Sya, jangan egois begitu."

"sorry, gue belum terbiasa," lirihnya

Lala bangkit, memilih untuk berjalan-jalan melihat sekeliling ruangan tersebut sembari menggendong Nio, sedangkan Anshel sedari tadi mengikuti kemanapun Sagara pergi.

"kamu janji sama Buna ya nak, jangan pernah sekalipun berniat untuk ninggalin Buna," gumamnya, Lala mengecup pipi gembul anaknya itu.

Ia berdiri tepat di depan stan ice cream, "mas, boleh minta ice cream nya?,"

"maaf ka, belum dibuka."

Lala menghela nafasnya, "satu aja deh, boleh ya?,"

"maaf ka, sudah peraturan dari atasan kami, makanan belum bisa di konsumsi oleh tamu sebelum kami mendapatkan aba-aba persetujuan."

"tolong berikan mas, ini adik bungsu saya,"

Lala menyengir saat Axel datang menghampiri nya, "yeay, terima kasih kak Axel!."

Axel mengambil alih Nio, ia membawa sang adik serta keponakannya untuk duduk di kursi yang sudah disediakan itu.

"kamu bawa-bawa bayi, tapi minta ice cream mukanya melas kayak anak kecil,"

Lala melirik kaka nya itu, "nggak tuh, biasa aja." sahutnya sembari menikmati semangkuk ice cream vanilla-nya.

Suapan terakhir ia berikan pada Axel kemudian mangkuk bekas nya ia berikan pada pelayan yang sudah disewa khusus untuk bersih-bersih.

"maaf,"

"hah?"

"maaf kaka udah egois, dan milih ke Surabaya,"

You're My Missing Puzzle Piece ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang