"Bisakah kita saling mencintai?"
Pertanyaan itu, sangat terngiang-ngiang di pikiran Afsha sekarang. Rasanya belum lama ini ia telah dikhianati oleh seorang lelaki, hanya dalam waktu beberapa minggu saja ia kembali seperti ini. Perjodohan yang disepakati oleh kedua orangtuanya terasa berat bagi Afsha.
Jujur Afsha masih trauma, apalagi saat tau bahwa Shihan juga berteman dengan Ahmed walau sekarang mereka terlihat jauh tapi jujur Afsha masih sangat takut.
Tok! Tok! Tok!
"Iya." Afsha bangkit dari duduknya, segera membuka pintu kamarnya. Terpampang sang Ibu tersenyum melihat anaknya.
"Ibu boleh masuk?"
"Boleh bu lagipula bukan Afsha yang berhak melarang, ini rumah Ahmed."
Ibu masuk. Afsha dan Ibu duduk berhadapan di ranjang. Sepertinya Ibu akan memulai pembicaraan serius.
"Ada apa bu?""Ibu akan pulang ke Indonesia," ujarnya.
"Loh, kenapa dadakan sekali bu?" tanya Afsha.
"Ya kata Bibi pesenan kue udah numpuk."
"Ya udah Afsha ikut pulang ibu aja lah," ujar Afsha.
"Kenapa? Udah bosen di Turki?"
"Sebenernya sih gak bosen, tapi daripada Afsha bingung disini. Malu juga Afsha lama-lama ngerepotin om sama tante," lirih Afsha.
"Ya sudah kalau mau pulang sama ibu, nanti ibu bilang sama ayah. Oh iya, masalah perjodohan, gak usah dipikiri, ibu tau pasti ini sulit buat kamu dan kamu juga masih trauma pastinya." Ibu tersenyum. Mengelus tangan anaknya yang ada di genggamannya sekarang.
"Ibu sama ayah juga udah pertimbangkan lagi. Terserah kamu mau kasih jawaban kapan. Yang penting kamu udah bener-bener hilang dari kata trauma. Jadi jangan dipikirkan lagi yah, perbanyak saja sholat istikharah. Ibu yakin, Ahmed orang baik. Tidak usah terlalu dipikirkan," ujar Ibu memberi pengertian kepada Afsha.
Afsha menghembuskan nafasnya pasrah, mengangguk.
"Iya bu, Afsha sebenernya masih trauma. Dan sebenarnya setelah kejadian itu Afsha berpikir agar Afsha bisa menyibukkan diri Afsha dengan bisnis kecil-kecilan saja."
"Ya sudah, cobalah sesuai keinginanmu. Ibu yakin dengan itu rasa trauma kamu hilang. Maafin ibu dama ayah karena gak memikirkan rasa trauma kamu yah."
Ibu memeluk Afsha, mencoba menghilangkan ras kekhawatiran yang ada di diri Afsha sekarang.
"Tapi bagaimana dengan om dan tante? Bukannya mereka sudah menunggu jawaban Afsha?" tanya Afsha.
"Tidak nak, mereka juga paham. Ibu sudah membicarakannya kepada mereka. Jangan khawatir yah, fokuskan saja dirimu sekarang dengan hal-hal baru yang ingin kau lakukan." Ibu mengelus surai anaknya perlahan. Menatap wajah anaknya yang sepertinya sangat lelah hari ini.
"Afsha sayang sama ibu." Afsha kembali memeluk Ibunya, lebih erat sekarang.
***
Udara dingin menerpa wajah Afsha saat dia membuka jendela kamar. Malam yang indah, walau dingin tapi ditemani rembulan yang terang.
"Aku gak bisa mencintai Ahmed," ujarnya monolog.
"Tapi aku kasihan sama ibu sama ayah, apalagi sama om dan tante," lanjutnya.
"Tapi emang bener aku gak cinta sama Ahmed. Aku cuman sayang dia karena dia anaknya tante, toh dia juga pernah jahat sama aku. Walau aku udah maafin sih, cuman ya aku gak cinta. Gimana dong?"
Setelah bermonolog, Afsha kembali menutup jendelanya. Mengambil koper dan memasukkan bajunya satu persatu ke dalam koper. Besok sore, dia akan kembali ke Indonesia.
Selesai berbenah, Afsha keluar dan bergabung dengan orangtunya dan keluarga Omar yang tengah berkumpul. Ada Ahmed juga.
"Afsha?" panggil Tante Neta dengan raut wajahnya yang sedih. Afsha paham, pasti Ibu sudah membicarakan akan kepulangannya.
"Kau benar akan kembali ke Indonesia?" tanyanya.
"I-i-iya tante. Afsha rasa sudah cukup waktu berlibur Afsha di Turki. Lagipula, masih banyak hal yang harus Afsha lakukan di Indonesia tante," jawab Afsha.
"Begitu yah? Padahal tante pengin kamu disini aja. Tapi tidak apa-apa, bukan hak tante melarangmu kembali ke Indonesia. Tapi tante mohon yah, pertimbangkan lagi tentang jawabanmu nanti. Kita semua disini akan menunggu kamu menjawabnya. Kita juga tidak akan memaksamu kok." Tante Neta tersenyum, mengelus pucuk kepala Afsha yang terbalut oleh hijab pashmina.
Afsha mengangguk.
"Kamu sudah membereskan pakaianmu?" tanya Ayah."Sudah yah," jawab Afsha.
"Loh emang kak Afsha kapan pulangnya?" tanya Hasbi yang mengerutkan keningnya.
"Besok sore."
"WHAT?!" Hasbi berdiri. Entah apa ini yang dinamakan mengekspresikan kaget dengan lebay?
"Hah, ck! Gak usah lebay." Afsha tertawa kecil.
Sedangkan Ahmed, dia hanya terdiam menunduk. Mungkin saja Ahmed tidak sedia jika Afsha kembali ke Indonesia. Sepertinya memang Ahmed perlahan akan mencintai Afsha.
"Beneran besok?" tanya Hasbi kembali duduk.
"Ya beneran, kapan kakak bohong sama kamu?"
"Ya ... tapikan aku masih kangen sama kak Afsha. Gak bisa di pending?"
"Gak bisalah. Tiketnya udah beli," ucapan Afsha membuat Ahmed mendongak, menatap Afsha. Lelaki berkumis tipis itu sepertinya kaget.
"Ya ampun, ya udah besok Hasbi bakal anterin kakak ke bandara yah?" tawar Hasbi.
"Kamu bisa naik mobil?" tanya Om Mahmed.
"Naik sih bisa, ngejalaninnya aja yang gak bisa. Tapi tenang, kan ada supir kita. Jeng! Jeng! Jeng!" Hasbi mengangkat tangan Ahmed. Ahmed kemudian menepis tangan Hasbi.
Supir? Ia dia adalah Ahmed. Semenjak Afsha disini memang Ahmed lah yang banyak menyupiri. Wajar saja jika Hasbi menyebutnya sebagai supir.
"Ih sakit tau!"
"Ya kamu. Diem!" tegas Ahmed menekan ucapannya.
"Iya bawel!"
"Eh malah pada berantem, udah! udah! besok kita semua nganter Afsha, tante sama om ke bandara," ucap Tante Neta. Hasbi, dia paling girang. Matanya membulat indah dengan senyum lebar di wajahnya. Anak itu memejamkan matanya dan memeluk Ahmed. Iya, Ahmed. Namun, ....
***
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DI LANGIT TURKI
Teen FictionFOLLOW AUTHOR!!! *Kata-kata masih banyak yang typo. Mohon dimaklumi* Bagaimana jadinya saat kita mencoba berlibur untuk melupakan masalah kita justru saat berlibur lah masalah kembali hadir kepada kita??? Seorang wanita yang calon suaminya telah dir...